Mohammad Hagie
Komunitas Kuluwung
Sejak Indonesia mengalami Kolonialisme dalam sejarah modernnya, terdapat dua keadaan yang terjadi; geliat picik imperium kolonial memperlakukan tanah baru jajahannya, dan Indonesia retak dari dalam, sehingga kemudian mengalami katastropi hingga hari ini.
Negeri di Atas Angin (Baca, Antoni Reid) adalah kepulauan rempah yang kelak menjadi komoditas utama dan bernilai tinggi di pasar Eropa. Maka dimulailah pengusaan kolonial (Baca, Kolonialisme) atas alam dan manusia Indonesia.
Di ranah politik, Pemerintah Kolonial menjalankan misi-politik adu domba, hal tersebut bermuara pada terpecahnya raja-raja disetiap kerajaan. Di ranah kebudayaan, pemerintah kolonial menjalankan politik belah bambu.
Akses pendidikan yang dibuka pada masa politik etis, yang kemudian melahirkan kaum Menak baru (bangsawan-terpelajar), seluruhnya terserap pada pos-pos pemerintahan. Mereka memiliki hak istimewa (privillage) dan bekerja untuk pemerintah kolonial.
Politik belah bambu berakibat pada terjadinya peminggiran manusia lokal desa. Ibarat membelah bambu; yang satu diangkat, dan yang satu diinjak. Kaum Menak baru (bangsawan-terpelajar) diangkat karena telah mendapatkan akses pendidikan, dan memiliki privillage untuk bekerja pada pos-pos pemerintahan yang berpusat di kota. Sedangkan kaum lokal desa telah tertinggal dan terpinggirkan, sebagai akibat langsung dari sistem pemerintah kolonial.
Akibat tidak meratanya pendidikan kolonial itu, desa menjadi tertinggal dan terasing dari bangsa (Indonesia)nya sendiri. Dengan demikian, keterasingan di daerah (bangsa) sendiri, bisa menjadi satu poin untuk mempertanyakan proses pendidikan yang telah terjadi.
Pendidikan ibarat pola asuh, boleh jadi keterasingan yang berujung pada alienasi, akibat tidak tepatnya pola asuh dalam dunia pendidikan hari ini. Karena pendidikan pada dasarnya bisa mendorong pemerdekaan diri, sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.
Di masa geliat revolusi Indonesia, Sitor Sitomurang menulis puisi “Si Anak Hilang” yang menggambarkan secara gamblang bagaimana manusia Indonesia telah terlepas dari entitas Keindonesiaan. Ia kehilangan orientasi-kulturalnya, dan lupa asal-usul dan masa lalunya.
Dan itu pula yang terjadi pada mahasiswa dan pemuda hari ini. Mahasiswa berlomba dan dipacu oleh sistem kampus untuk lulus cepat dan nilai IPK tinggi, sistem itu dijalankan dengan siasat biaya uang semester yang semakin mahal, ditambah biaya hidup bagi mahasiswa rantau. Sehingga setelah lulus, ia dihadapkan pada beban orang tua yang telah membiayai selama kuliah itu, maka tidak ada pilihan lain selain bekerja untuk uang. Dan kita tahu, perputaran uang berpusat di kota.
Begitupun terjadi pada pemuda di desa-desa, mereka yang tidak memiliki kesempatan dan akses ke perguruan tinggi, hampir seluruhnya pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh kasar. Maka sempurnalah desa sebatas sisa-sisa yang terabai dan ditinggalkan.
Dengan itu, sebagai bagian dari produk pendidikan dan budaya modern, maka diperlukanlah mahasiswa dan pemuda hari ini, memahami dunia dan sekitar-dekatnya sendiri. Persis dengan yang dikatakan oleh W.S Rendra, Indonesia harus kembali pada dirinya. Hanya dengan jalan kembali (pulang), dimungkinkan kita bisa mencapai cita-cita luhur dan menjadi Indonesia.
Pandemi dunia hari ini memberikan pelajaran penting, bahwa tatanan dunia global telah runtuh pada ujung pangkal dasarnya, dan kita tidak semestinya bergantung terus sepenuhnya pada kota. Bekerja tidak harus berkonotasi pada kota. Desa memberikan ruang untuk kita bekerja pada diri sendiri, sebagaimana tujuan utama dari pendidikan bangsa, yakni pemerdekaan diri.
Dengan kesadaran itu, Komunitas Kuluwung yang berisikan teman-teman muda mahasiswa dan pelajar, mencoba mengisi ruang kosong itu. Berlokasikan di lingkungan Pesantren Cipasung, mencoba menciptakan ekosistem kebudayaan baru.
Di samping mengadakan kegiatan rutin setiap pekan, pada hari Minggu tanggal 30 Agustus 2020, Komunitas Kuluwung telah menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Explore ad Alterum”. Dengan mengundang mahasiswa dari berbagai universitas, dan bekerja sama dengan perangkat Desa Balai Cipakat, Singaparna. Hadir pula seniman, budayawan, akademisi, dan jurnalis, untuk duduk bersama.
Tujuannya, selain mendekat-aktifkan kembali perangkat desa sebagai representasi kehadiran dari negara, adalah menghubungkan kembali arah cita-cita bersama. Dan itulah yang menjadi amanah yang diemban, dan tugas yang akan dijalankan.
Terakhir, penulis ingin menyematkan tiga larik puisi dari seorang Umbu Landu Parangi yang berjudul “Apa Ada Angin di Jakarta”
“Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati”