Oleh Muhammad Sobari
Mahasiswa FISIP Universitas Galuh
Setiap tahun, pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) selalu menjadi momen krusial untuk menakar arah keberpihakan negara terhadap rakyatnya. Anggaran bukan sekadar deretan angka, melainkan cerminan ideologi dan prioritas kebijakan publik. Dalam konteks Indonesia, pembagian urusan pemerintahan telah diatur secara normatif melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tiga kategori pembagian urusan absolut, konkuren, dan pemerintahan umum seharusnya menjadi pijakan dalam menentukan alokasi anggaran secara adil dan berimbang.
Namun demikian, dalam dinamika politik anggaran terkini, terutama menyongsong RAPBN 2026, terjadi kecenderungan yang memunculkan ironi dan kritik tajam. Negara tampak lebih responsif dan royal dalam membiayai urusan pemerintahan absolut seperti pertahanan dan keamanan. Sementara sektor-sektor konkuren seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan masih tertatih dalam memperoleh porsi anggaran yang layak.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah negara masih menjalankan peran sosialnya secara proporsional. Atau justru terjebak dalam logika kekuasaan yang mengabaikan kebutuhan rakyat?.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kegagalan teknokratis dalam menyusun kebijakan fiskal. Tetapi juga memperlihatkan bias struktural dalam cara negara memaknai pembangunan nasional. Ketika guru honorer, tenaga kesehatan, petani, dan generasi muda yang menganggur tidak mendapat perhatian serius dalam struktur anggaran, maka wacana kesejahteraan dan keadilan sosial hanya akan tinggal sebagai jargon formal dalam pidato-pidato kenegaraan.
Menurut Teori Kesejahteraan Sosial (W. Beveridge), negara modern harus hadir menjamin hak-hak dasar warga. Dalam pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan — termasuk melalui intervensi fiskal yang adil. Sementara Teori Keadilan Rawlsian menekankan pentingnya pemerataan sumber daya untuk kelompok paling lemah. Dalam konteks RAPBN 2026, pengalokasian dana besar untuk sektor pertahanan tanpa penguatan sektor sosial menunjukkan deviasi dari asas keadilan tersebut.
Studi kasus Korea Selatan menunjukkan bagaimana negara bisa menyeimbangkan sektor keamanan dan sosial. Pada tahun 2023, Korea meningkatkan belanja pertahanannya hanya sebesar 4%. Tetapi belanja pendidikan dan inovasi teknologi pemuda ditingkatkan hingga 12% menghasilkan penurunan pengangguran pemuda sebesar 2,5% dalam setahun (OECD Report, 2024).
Ketimpangan Prioritas
Dalam sistem pemerintahan Indonesia, pembagian kewenangan dilakukan melalui tiga kategori. Urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan absolut, seperti pertahanan dan keamanan, menjadi domain eksklusif pemerintah pusat. Urusan konkuren dibagi antara pusat dan daerah, meliputi sektor-sektor strategis seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial. Sementara itu, urusan pemerintahan umum mencakup fungsi koordinatif antarinstansi vertikal tanpa pelayanan langsung kepada publik.
Namun, arah kebijakan fiskal negara sering kali menunjukkan dominasi urusan absolut dibanding konkuren. Berdasarkan klasemen alokasi RAPBN 2026, belanja pertahanan dan keamanan menempati posisi tertinggi. BGN (diduga merupakan badan gabungan yang mewakili fungsi strategis negara) memperoleh anggaran sebesar Rp217,8 triliun, diikuti Kementerian Pertahanan Rp167,4 triliun, dan Polri Rp109,6 triliun (Kemenkeu, 2024). Sementara itu, sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, tenaga pendidik, guru honorer, hingga petani dan tenaga kesehatan, tidak memperoleh perhatian yang sebanding dalam struktur anggaran negara.
Dalam konteks ini, Prof. Dr. Ryaas Rasyid menyoroti adanya asimetris fiskal, yaitu ketimpangan antara pembagian kewenangan dan kemampuan keuangan. Ketika daerah dibebani tugas besar dalam urusan konkuren tetapi tidak didukung oleh anggaran yang memadai dari pusat, maka tujuan desentralisasi menjadi tidak tercapai. Hal ini menyebabkan pelayanan publik tidak berjalan optimal dan rakyat menjadi korban dari ketimpangan struktur fiskal negara.
Ketidakseimbangan
Kebijakan fiskal yang memprioritaskan sektor absolut kerap mengabaikan esensi utama negara dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Berdasarkan APBN 2025 yang dirilis oleh Kementerian Keuangan, belanja fungsi pendidikan memang mencapai angka Rp 665 triliun. Namun alokasinya banyak terserap pada kebutuhan administratif dan tidak menyentuh substansi transformasi kualitas pendidikan di daerah. Belanja kesehatan, yang hanya mencapai Rp 186,4 triliun (Kemenkeu,2024). Masih tertinggal dibandingkan anggaran sektor pertahanan dan keamanan yang terus meningkat secara progresif dalam lima tahun terakhir.
Data BPS Mei 2025 mencatat bahwa angka pengangguran terbuka mencapai 7,6 juta orang, dengan mayoritas berasal dari kelompok usia produktif 19–24 tahun. Fakta ini memperlihatkan adanya kelalaian negara dalam menangani pengangguran jangka panjang, terutama di kalangan generasi muda. Padahal, ketimpangan ini secara langsung memengaruhi kualitas demokrasi dan stabilitas sosial di tingkat akar rumput.
Dalam hal ini, Prof. Dr. Paulus Wirutomo, sosiolog UI, menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang memiliki kehadiran nyata dalam kehidupan sosial rakyatnya. Ketika akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan tidak terpenuhi, maka negara telah gagal menjalankan fungsinya sebagai pelindung sosial. Alokasi anggaran yang timpang mencerminkan ketiadaan keberpihakan struktural terhadap kebutuhan publik.
Reorientasi Anggaran
Jika negara ingin membangun legitimasi jangka panjang, maka orientasi fiskalnya harus berpihak pada sektor yang menyentuh kebutuhan rakyat. Penguatan belanja publik pada sektor konkuren tidak hanya akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Juga mencegah gejolak sosial dan memperkuat ketahanan nasional secara partisipatif.
Negara-negara maju telah menunjukkan praktik reorientasi anggaran yang berkeadilan. Korea Selatan, misalnya, menaikkan belanja pendidikan dan teknologi pemuda hingga 12% dalam APBN 2023, dan menurunkan pengangguran pemuda sebesar 2,5% (OECD Economic Outlook, 2024). Bandingkan dengan Indonesia yang justru menambah belanja pertahanan rata-rata 12% per tahun sejak 2019, sementara peningkatan sektor pendidikan stagnan di kisaran 6% (INDEF, 2024).
Dalam bagian ini, Dr. Djohermansyah Djohan menegaskan bahwa negara harus menjadi penyelenggara pemerintahan yang melayani (service-oriented government). Fungsi pelayanan publik pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan harus diletakkan sebagai pilar utama kebijakan anggaran, bukan menjadi pelengkap dari proyek kekuasaan. Sementara itu, Dr. Yayan Hidayat dari UNPAD menambahkan bahwa penyusunan anggaran negara sebaiknya menggunakan pendekatan need-based budgeting. Yaitu alokasi berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat dan indikator ketimpangan sosial, bukan atas dasar kepentingan elite.
Ketimpangan
Ketimpangan alokasi anggaran negara antara urusan pemerintahan absolut dan urusan konkuren menunjukkan adanya kegagalan negara dalam menjalankan fungsi pelayanan publik secara adil dan proporsional. Ketika belanja untuk sektor pertahanan, keamanan, dan birokrasi mendominasi RAPBN, sementara fungsi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial justru terpinggirkan. Maka negara secara sadar menciptakan ketidakadilan struktural. Padahal, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan konkuren merupakan mandat konstitusional yang harus dijalankan bersama antara pusat dan daerah demi menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Pemikiran dari para akademisi Indonesia, seperti Paulus Wirutomo, Ryaas Rasyid, Djohermansyah Djohan, dan Yayan Hidayat, menegaskan bahwa negara harus bergeser dari orientasi kekuasaan menuju orientasi pelayanan. Anggaran negara tidak boleh hanya menjadi alat menjaga stabilitas elite, tetapi harus hadir untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, terutama kelompok miskin dan rentan. Penulis berpendapat bahwa negara yang terus-menerus abai terhadap keadilan anggaran sedang mempertaruhkan legitimasi sosialnya. Dan pada akhirnya melemahkan dirinya sendiri dari dalam.
Sebagai solusi, penulis merekomendasikan dilakukannya reformasi kebijakan anggaran berbasis keadilan sosial dengan pendekatan need-based budgeting. Pemerintah harus menyeimbangkan kembali belanja negara dengan memperbesar alokasi pada urusan konkuren dan memperkuat kapasitas fiskal pemerintah daerah. Evaluasi menyeluruh terhadap pembengkakan anggaran sektor keamanan juga diperlukan. Agar anggaran publik benar-benar mencerminkan kepentingan rakyat, bukan sekadar ambisi institusi. Negara yang kuat bukanlah negara yang paling bersenjata, tetapi negara yang paling mampu menyejahterakan rakyatnya secara merata dan berkelanjutan.***












