OPINI

LGBT dalam Demokrasi di Indonesia

×

LGBT dalam Demokrasi di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh Hana Setyaningsih
Mahasiswi Magister Departemen Politik & Pemerintahan FISIPOL UGM

Isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) seolah terus bermunculan akhir-akhir ini di media massa. Wacana pertemuan aktivis LGBT se-ASEAN yang rencananya akan diadakan di Jakarta ramai mendapat pertentangan, hingga akhirnya acara ini batal digelar. Wacana tersebut seolah mengajak kita untuk menilik mengapa isu LGBT selalu diperdebatkan. Tulisan ini akan membahas terkait dengan eksistensi LGBT di Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi.

Perkembangan teknologi khususnya media sosial membuat berbagai informasi mudah diakses, tidak terkecuali informasi seputar LGBT. Pro dan kontra tentunya mewarnai isu ini, terlebih adanya beberapa content creator di Instagram dan Youtube mulai bermunculan. Baik yang hanya menyatakan dukungan maupun yang menjadi bagian dari LGBT itu sendiri. Meskipun tidak dapat dipungkiri yang menolak tentang hal ini masih memiliki suara yang lebih banyak.

Pada awalnya aktivis lesbian dan gay jarang secara terbuka menuntut hak dan cenderung bergerak pada peningkatan kesadaran dengan lingkup kecil. Pada saat orde baru aktivis lesbian dan gay dianggap tidak membahayakan atau tidak dianggap sebagai ancaman langsung bagi Negara. Oleh karena itu pemerintah pada saat itu tidak begitu menaruh perhatian kepada hal tersebut. Hingga pada tahun 1980-an beberapa aktivisme lesbian mulai bermunculan meskipun tak berumur lama. Seperti Persatuan Lesbian Indonesia (Perlesin), Sappho, Chandra Kirana, Suara Srikandi.

Sedangkan aktivisme gay terdapat Lambda (yang saat ini dikenal dengan GAYa Nusantara) (Wijaya dan Sharyn dalam Dibley dan Michele, 2019). Selanjutnya pada tahun 2006 di Yogyakarta pernah diadakan Yogyakarta Principles yang membahas prinsip-prinsip hak mendasar yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender. Hasilnya dokumen yang ditandatangani oleh 29 pakar HAM internasional dari 25 negara meskipun peraturan ini tidak bersifat kaku dan mengikat (Kompas, 2016).

Dalam laporan LGBT Nasional Indonesia tahun 2013 tercatat terdapat dua jaringan nasional organisasi LGBT yang terdiri dari 119 organisasi yang terdapat di 28 provinsi. Kedua jaringan tersebut yaitu Jaringan Gay, Waria dan Laki-laki yang Berhubungan Seks dengan Laki-laki Lain Indonesia (GWL-INA) yang mulai berdiri pada Februari 2007 dengan menaruh perhatian pada penanggulangan HIV dan Penyakit Menular Seksual (PMS). Kedua yaitu Forum LGBTIQ Indonesia yang berdiri pada tahun 2008 yang bertujuan antara lain untuk mengatasi keterbatasan tersebut dengan memajukan program hak-hak seksual. Forum ini mendapatkan dana rintisan dari Hivos sebuah organisasi asal Belanda (Oetomo, 2014).

Demokrasi

Menurut Beetham demokrasi adalah soal bagaimana sistem Negara memberikan pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) kepada warganya. Selain itu diperlukan aspek sipil dan politik, “tanpa kebebasan berekspresi, berserikat, berkumpul, atau bergerak, orang tidak dapat secara efektif memiliki suara dalam organisasi masyarakat sipil” (Beetham, 1997).

Dalam demokrasi di dalamnya terdapat pengakuan terhadap hak-hak minoritas. Orang-orang yang merasa masuk ke dalam LGBT merupakan kelompok masyarakat minoritas. Dengan demikian demokrasi merupakan prasyarat untuk memberikan hak substantif LGBT. Namun kelompok minoritas ini keberadaannya sering kali tidak diterima bahkan ditentang oleh sebagian besar masyarakat.

Berdasarkan survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret 2016, September dan Desember 2017 dengan jumlah responden 1.220 terdapat 87,6 persen penduduk Indonesia menganggap LGBT sebagai ancaman (Tempo.co, 2018).

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa LGBT ini eksistensinya berbenturan dengan norma budaya yang ada di masyarakat. Terlebih dalam pancasila yang merupakan pilar ideologis Negara Indonesia dengan jelas disebutkan pada sila pertama yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”. Di mana dalam hal ini bahwa warga Indonesia berhak menganut satu agama yang dia yakini sesuai pasal 28 E ayat 1 UUD 1945 (meskipun saat ini pemerintah hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Di antara keenam agama yang diakui tersebut semuanya tidak ada yang secara eksplisit mengakui LGBT bahkan cenderung pada pelarangan.

Dalam mempertahankan masyarakat yang stabil dan harmonis yang di dalamnya terdapat sosial, budaya, dan agama menjadi pertimbangan. Maka hal tersebut membatasi pendekatan Indonesia terhadap hak asasi manusia (Offord dan Leon, 2008). Hak asasi manusia bergantung pada budaya. Hal itu bisa menjadi alasan mengapa hak lesbian dan gay sulit untuk diterima di asia (Erick Laurent).

Dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi Dan Sumber Kesejahteraan Sosial, salah satu yang termasuk ke dalam PMKS yaitu Kelompok Minoritas. Yakni kelompok yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya akibat diskriminasi dan marginalisasi yang diterimanya. Sehingga karena keterbatasannya menyebabkan dirinya rentan mengalami masalah sosial, seperti gay, waria, dan lesbian.

Berbeda dengan waria yang cenderung terbuka dan lebih mudah diterima oleh masyarakat meskipun mereka juga kerap dipandang rendah. Para waria ini kerap ditemui di salon atau menjadi perias, menjadi pengamen, atau menjadi pelawak. Tak jarang juga media kerap menampilkan waria sebagai “bahan candaan” dan hal tersebut sudah dianggap biasa oleh masyarakat. Kata waria ada sejak tahun 1970-an yang merupakan gabungan dari kata pria dan wanita. Selain itu waria ini biasanya berasal dari kalangan masyarakat yang kurang sejahtera (Erick Laurent).

Regulasi

Sampai saat ini belum ada regulasi di Indonesia yang “mengakui” LGBT. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jelas disebutkan bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari hal tersebut terlihat bahwa belum ada peraturan terbaru yang memperbolehkan pernikahan dengan gender yang sama.

Selain itu dalam Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) hanya memperbolehkan mencantumkan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Kemudian hak pengangkatan anak pun mensyaratkan calon orang tua angkat yang bukan merupakan pasangan sejenis. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan Fatwa Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Lesbian, Gay, Sodomi dan Pencabulan. Dalam fatwa tersebut dijelaskan, bahwa orientasi seksual terhadap sesama jenis adalah kelainan yang harus disembuhkan. Selain itu, orientasi seksual sesama jenis ini juga ditegaskan sebagai bentuk dari penyimpangan yang harus diluruskan, dengan demikian aktivitas penyimpangan tersebut haram hukumnya (Muidigital, 2022).

Penduduk Indonesia yang sebagian besar beragama islam dan yang jika patuh terhadap ajarannya tentu tidak akan membenarkan perbuatan LGBT. Sedangkan demokrasi di dalamnya terdapat bagaimana caranya keputusan diambil dan diterima oleh banyak orang. Hal tersebut tentunya membuat banyak pejabat negara yang cenderung berhati-hati jika akan mengangkat isu terkait.

Kemudian yang berkaitan dengan media terdapat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 4 bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang yang antara lain dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual. Hal tersebut membuat paradigma barat yang liberal tentang hal ini mengalami keterbatasan. Dari hal tersebut membuat kehati-hatian pers dan media karena terdapat pembatasan (Offord dan Leon, 2008).

Ancaman, perundungan, dan perbuatan tak menyenangkan lainnya kerap dirasakan oleh kelompok minoritas ini. Oetomo pernah menerima ancaman pembunuhan ketika akan mengadakan pertemuan jejaring nasional LGBT di Solo tahun 1999 (Oetomo, 2010). Tindakan tersebut tidaklah benar (meskipun kegiatan LGBT nya perlu mendapat kejelasan) mereka perlu diperlakukan dengan baik. Sehingga Para aktivis terkait hal ini cenderung lebih memperjuangkan tentang kesehatan dan kesejahteraan dibandingkan dengan memperjuangkan secara eksplisit hak asasi manusianya yang rawan akan adanya perdebatan. Meskipun masih menjadi perdebatan apakah LGBT ini merupakan sesuatu yang harus disembuhkan atau diakui sebagai entitas baru. Dikarenakan psikiater dan psikoanalisis asal Amerika yaitu Charles W Socarides menyatakan bahwa gay bukanlah bawaan genetik manusia dari lahir, akan tetapi munculnya gay dipengaruhi oleh wawasan dan dilakukan secara sadar.

Selain itu pada tahun 1952 Diagnostic and Statistical Manual (DSM) mengungkapkan bahwa homoseksual sebagai gangguan kepribadian sosiopat. Dan pada tahun 1968 homoseksual sebagai kegiatan seksual yang menyimpang (Santoso, 2016).

Penduduknya yang memeluk agama, budaya yang kental, serta belum adanya regulasi yang mengatur dan mengakui keberadaan LGBT membuat kelompok minoritas ini sulit diterima. Berdasarkan pengamatan Eric Heinze bahwa seiring dengan kemajuan hak asasi manusia, prospek ketidaksepakatan budaya meningkat (Offord dan Leon, 2008).

Menurut Mayer demokrasi yang sesungguhnya yaitu ketika seluruh masyarakat dapat memahami bahwa terdapat kepentingan seluruh individu harus dipertimbangkan di dalam demokrasi. Sehingga HAM dan demokrasi menjadi alat untuk memenuhi beraneka ragam kebutuhan yang berbeda-beda pada semua orang. Untuk dapat mempertimbangkan LGBT maka diperlukan budaya kompromi. Kompromi berfungsi menangani konflik disaat penerapan kepentingan dari pihak yang lebih kuat tidak memberi solusi jangka panjang. Sasaran penting dalam demokrasi yaitu mempertimbanagkan sebanyak mungkin kepentingan dan nilai (Meyer, 2012).

Meskipun Indonesia merupakan Negara yang pluralism karena di dalamnya terdapat banyak keanekaragaman. Namun untuk isu LGBT ini masih sangat sulit diterima dikarenakan masyarakat yang beragama membuat bertentangan dengan paham ajarannya. Meskipun begitu tindakan diskriminasi pada orang-orang LGBT ini bukanlah sesuatu yang dibenarkan. ***