OPINI

Makna Bendera Merah Putih, Butiran Nasi, Berbeda Itu Menjadi Kekuatan

×

Makna Bendera Merah Putih, Butiran Nasi, Berbeda Itu Menjadi Kekuatan

Sebarkan artikel ini

Oleh Ilam Maolani (Peserta/Undangan Wakil Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Tasikmalaya)

Hari Rabu, 26 Agustus 2020, ditakdirkan dapat menghadiri acara Silaturahmi Kebhinekaan Wantimpres bersama Alim Ulama dan Tokoh Agama se-Kota Tasikmalaya, bertempat di halaman Masjid Agung Kota Tasikmalaya.

Sebelum pengarahan atau amanat Habib Luthfi sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, acara diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan Pancasila oleh Ketua Harian DKM Masjid Agung Kota Tasikmalaya Muhamad Aminudin, Sambutan Ketua DMI K.H. Udin, dan Sambutan Walikota H. Budi Budiman.

Pada acara inti, Habib mengawali amanatnya dengan bercerita bahwa Tasikmalaya merupakan daerah yang tidak asing lagi, karena banyak melahirkan ulama. Beliau mencontohkan ulama Syekh Muhyidin Pamijahan.

Menurut Pendakwah kelahiran 10 November 1947 ini, bendera merah putih yang berkibar di sekitar kita, apalagi banyak bermunculan pada saat menjelang Hari Kemerdekaan RI, makna benderanya jangan disepelekan.

Bendera merah putih itu mengandung makna kehormatan, harga diri, dan jati diri bangsa. Dulu para pahlawan yang merebut kemerdekaan dari penjajah, bersatu padu demi berkibarnya merah putih.

Bersatu padunya para pahlawan dalam mengusir penjajah mesti kita tiru, terutama bagi generasi yang akan datang. Bahkan Beliau sempat bertanya,

“Pernahkah kita menjelaskan kepada generasi tentang makna bendera ini? Pernahkah kita memberi informasi kepada generasi tentang betapa pahlawan berjuang dan berkorban demi meraih kemerdekaan?.”

Meski kita ini bhinneka, berbeda-beda suku, ras dan agama, namun persatuan, kesatuan, dan kebersamaan bangsa ini harus tercipta dan dijaga dengan baik.

Beliau mencontohkan sebutir nasi. Kita jangan menganggap ringan atau sepele dengan sebutir nasi yang kita makan.

Dilihat dari perjuangan dan pengorbanan proses awal sebelum menjadi nasi penuh dengan makna persatuan, kesatuan, dan kekompakan.

Sebelum menjadi padi, petani memakai berbagai alat untuk menanamnya. Beberapa pupuk dilibatkan agar padi tumbuh baik.

Setelah dipanen, digunakan alat untuk memanen, diproses sampai ditumbuk menjadi beras. Setelah menjadi beras, untuk menjadi nasi lantas dimasak melibatkan air, api, kompor, panci.

Setelah menjadi nasi, tidak langsung dimakan, tapi melibatkan lauk pauknya. Menyediakan lauk pauk kembali berkaitan dengan kerjasama berbagai unsur.

Apabila kita mau merenung dan mengambil hikmah dari proses awal sampai hasil akhir menjadi butiran nasi, maka bangsa ini harus berjuang, berkorban, bersatu padu membangun negara kita tercinta.

Tidak boleh ada perpecahan diantara bangsa. Berbeda itu harus menjadi kekuatan besar.

Tidak terbayangkan jika air, api, panci, dan kompor, bekerja sendiri dan saling mengklaim kesombongan atau jasa masing-masing, dijamin beras tidak akan menjadi nasi.

Jika bangsa ini bekerja sendiri tanpa adanya kebersamaan dan kekompakan, maka negara ini tidak akan tegak.

Kiai Pekalongan Jateng yang menjadi Wantimpres sejak 13 Desember 2019 ini sempat membuat hadirin tertawa di saat beliau berbicara sedikit dengan memakai Bahasa Sunda.

“Maaf tadi saya berbicara sedikit memakai Bahasa ‘ Inggris’,”. Mendengar itu hadirin gerr. Rupanya Kiai yang tawadu ini ternyata humoris dengan tetap menyejukkan dan membuat hadirin respect pada beliau.

Terakhir sebelum salam, beliau memimpin doa dengan menyilahkan hadirin untuk berdoa menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Ditutup dengan doa ‘sapujagat’, doa kebaikan dunia dan akhirat.

Terimakasih Habib atas silaturahmi dan pencerahannya. Semoga harapan Habib dapat dilaksanakan oleh anak bangsa ini sehingga semua komponen bangsa ini mengutamakan persatuan dan kesatuan, damai dalam perbedaaan, beda dalam perdamaian. Bhineka Tunggal Ika.***