Menjelang Pilkada serentak yang akan digelar pada 2020 mendatang, di Kabupaten Tasikmalaya telah muncul banyak nama yang digadang-gadang untuk bisa menjadi pucuk pimpinan daerah, baik yang berasal dari partai politik maupun birokrasi.
Momen pilkada selalu memiliki daya tarik bagi banyak kalangan, tidak sedikit pula yang apriori dengan hal tersebut ketika dirasakan bahwa pilkada tidak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Secara definisi berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negarawan memiliki dua makna, yakni: pertama, orang yang ahli dalam kenegaraan (pemerintahan). Kedua, pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah dengan kebijaksanaan dan kewibawaan. Berdasarkan definisi tersebut terlihat sangat indah sosok tersebut.
Upaya menghadirkan sosok negarawan telah digagas oleh pengurus DPD KNPI Kabupaten Tasikmalaya melalui kegiatan Diskusi Publik yang diselenggarakan pada Hari Kamis (18/7) di Pendopo Baru Kabupaten Tasikmalaya. Hal ini adalah langkah yang perlu diapresiasi sebagai upaya menghidupkan ruang pergulatan pemikiran, sehingga didapatkan kejernihan hati dan pikiran dalam mencari sosok negarawan yang paling tepat.
Karpet Merah Untuk Sosok Negarawan
Ketika sampai pada pertanyaan,” adakah sosok negarawan di Kabupaten Tasikmalaya?” Menurut hemat penulis Ins Shaa Allah ada, bahkan mungkin banyak. Logika sederhananya masa iya dari sekitar 1,8 Juta penduduk Kabupaten tidak ada? Sosok negarawan adalah hal yang perlu diikhtiarkan oleh semua pihak, dia perlu dihadirkan, perlu diberi panggung, perlu difasilitasi bahkan diberikan “karpet merah” untuk menyambut kedatangannya.
Karpet merah yang penulis maksud adalah sosok negarawan harus lahir dari sebuah pilkada damai dan berintegritas. Untuk mewujudkan pilkada damai dan berintegritas perlu komitmen dari semua pihak, misalnya dari: Peserta, Penyelenggara, Pemda, TNI/Polri, Masyarakat, Kelompok Kepentingan, dan sebagainya. Pilkada damai dan berintegritas adalah modal dasar eksistensi pemerintahan pasca pilkada yakni terwujudnya pemerintah yang efektif. Dengan kata lain terwujudnya “governability” yakni pemerintah yang benar-benar memiliki kemampuan “memerintah”.
Hal tersebut dapat meningkatkan public trust (kepercayaan publik), dimana public trust adalah sebuah keniscayaan bagi entitas pemerintahan level mana pun. Ini adalah soal cara menghadirkan, cara yang ditempuh akan menunjukkan dimana kelas kita berada. Proses yang tidak taat asas, tidak taat aturan, dan tidak menegakkan etika sulit menjadi pilkada yang mensejahterakan. Dengan kata lain, pilkada yang sukses adalah sukses penyelenggara, sukses penyelenggaraan, dan sukses hasil.
Sejatinya kedaulatan rakyat tidak hanya perlu diwujudkan dalam proses awal (pilkada), jauh lebih penting dari itu adalah pasca pilkada yakni mampu mewujudkan kedaulatan ekonomi. Kabupaten Tasikmalaya sesungguhnya memiliki modal besar yang sangat baik, dimana dalam setiap kontestasi pilkada selalu berjalan aman, lancar, dan sukses bahkan menjadi salah satu barometer nasional. Tugas kita ke depan selain menghadirkan sosok negarawan melalui pilkada yang damai dan berintegritas, lebih jauh dari itu adalah bagaimana bisa mengkonversi pilkada yang damai dan berintegritas menjadi sebuah pilkada yang benar-benar mensejahterakan. Salah satunya kita bisa menambatkan harapan melalui hadirnya sosok negarawan.
Demokrasi Gagal Melawan Korupsi
Demokrasi adalah salah satu agenda reformasi ’98. Ketika pemilu pertama pasca reformasi tahun 1999 sesungguhnya kita memiliki pengalaman yang baik dimana pemilu berjalan sukses, lancar, aman, dan diakui dunia ketika keadaan ekonomi terpuruk. Demokrasi diyakini sebagai sebuah sistem yang dapat memangkas terjadinya korupsi. Keyakinan tersebut tidak berbanding lurus dengan apa yang senyata terjadi dalam praktik politik-pemerintahan, khususnya di daerah.
Korupsi yang dinyatakan sebagai “extra ordinary crime” (kejahatan luar biasa) nampaknya saat ini malah semakin merajalela. Hal ini justru terjadi ketika aturan semakin ketat dan sistem semakin canggih, namun selalu terjadi/melibatkan eksekutif, legislatif, yudikatif dari tingkat pusat sampai daerah bahkan desa. Ada persoalan apa sesungguhnya semua ini bisa terjadi? Amatan penulis, salah satunya ini adalah problem mental dan spiritual kita yang menjadi akar permasalahannya.
Demokrasi gagal melawan korupsi, karena demokrasi dibajak oleh: Partai Politik, Pemilik Modal, Penyelenggara Pemilu, Birokrasi, Tim Sukses, Masyarakat, dan lain-lain. Ketika dibajak, arah demokrasi berbelok menjadi oligarki sehingga melahirkan “demokrasi borjuis”. Dengan kata lain, korupsi yang terjadi saat ini salah satunya karena diselundupkan dalam setiap proses politik yang terjadi pada tingkat pusat maupun daerah. Korupsi yang terjadi, membunuh demokrasi secara perlahan namun pasti.
Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan ”kesabaran demokrasi” yakni tetap meniti jalan reformasi sampai tuntas. Ini adalah tantangan kita semua, apakah menjadi generasi yang bertanggung jawab atau tidak terhadap estafet kepemimpinan.
Kabupaten Tasikmalaya yang baru saja merayakan hari jadinya masih dihadapkan kepada sejumlah persoalan yang menuntut tanggung jawab semua pihak.
Tanggung jawab tersebut tentu tidak saja disematkan kepada pemerintah daerah, melainkan kepada semua pihak yang ada di dalamnya. Sebagai “pituin” warga Kabupaten Tasikmalaya, penulis sangat berharap persoalan aset bisa diselesaikan hingga tuntas, tidak ada lagi kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang masih berada di wilayah Kota Tasikmalaya.
Saat ini masyarakat mendambakan alun-alun yang baik, terminal yang baik, stadion yang baik, infrastruktur jalan yang baik, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang baik, aparatur yang memadai, dan sejumlah kebutuhan lainnya.
Pilkada sejatinya momen krusial yang menentukan masa depan kabupaten, sebagai kesempatan untuk “bersih-bersih”, kesempatan untuk “bebenah” sekaligus sebagai sarana kontes gagasan dan sebagai instrumen untuk melahirkan sosok negarawan.
Tantangan Menghadirkan Sosok Negarawan
Menghadirkan sosok negarawan bukanlah hal yang mudah sekaligus bukan hal yang mustahil. Dalam catatan penulis terdapat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tantangan yakni: pertama, High Cost Politic (Politik Berbiaya Tinggi). Politik berbiaya tinggi ini laksana pisau bermata ganda, di satu sisi dapat menyebabkan orang tidak berani berpolitik (mencalonkan). Saat ini untuk bisa terpilih tidak cukup dengan integritas, kredibilitas, kapasitas, kapabilitas, elektabilitas, aksesibilitas, popularitas. Jika “isi tas” nya kurang atau bahkan tidak memiliki, sulit pula untuk bisa terpilih.
Kabarnya menurut Kementerian Dalam Negeri untuk bisa terpilih rata-rata membutuhkan 10 hingga 100 milyar dalam kontestasi pilkada. Angka yang cukup fantastis. Kemudian pada sisi yang lain dapat mendorong orang menghalalkan segala cara. Pada sisi inilah yang sangat melukai demokrasi.
Kedua, Independensi dan Profesionalitas Penyelenggara. Secara umum di Indonesia memiliki pengalaman masih banyaknya penyelenggara yang diadukan karena persoalan melanggar etika, kemudian ada pengalaman Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang disebabkan oleh keteledoran.
Ketiga, Kehadiran Negara, mahalnya biaya politik rentan diintervensi kekuatan-kekuatan tertentu. Pada sisi ini sempat mengemuka wacana soal biaya saksi dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan yang dimaksud disini bukan biayanya yang diserahkan ke partai politik tapi include menjadi biaya penyelenggara, meski sampai saat ini hal tersebut masih debatable.
Keempat, Kesadaran politik masyarakat belum memadai. Hal ini tentunya banyak variabel yang mempengaruhinya dan perlu diurai, misalnya soal pendidikan politik. Pendidikan politik menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hanya dinisbatkan kepada partai politik yang notabene merupakan salah satu fungsinya. Pendidikan politik adalah proses awal yang berkesinambungan dan berujung terciptanya budaya politik.
Kelima, Parpol gagal melaksanakan fungsinya. Sejatinya parpol memiliki banyak fungsi seperti: rekrutmen politik, pendidikan politik, sosialisasi politik, komunikasi politik, dan lain-lain. Selain persoalan fungsi, parpol juga dihadapkan pada persoalan kemandirian pendanaan. Pada bagian lain ketika kontestasi pilkada sering pula parpol mengalami kegamangan dalam mengusung calon yang diakibatkan oleh ketiadaan kader yang memiliki “daya jual”.
Pada kondisi ini ketika merekrut calon dari luar parpolnya, rentan pula dengan adanya “mahar” sehingga seringkali dikritisi bahwa parpol tak ubahnya rental kendaraan, maka semakin melemahkan posisi parpol dan turunnya kepercayaan dari masyarakat terhadap parpol. Idealnya parpol adil dalam memunculkan nama calon, selain menyediakan ruang untuk kader partai juga dibuka kesempatan bagi calon non parpol yang salah satunya melalui mekanisme konvensi secara objektif, ini langkah yang logis dan modern.
Meski saat ini mekanisme tersebut tidak menarik bagi umumnya parpol ketika ada parpol yang sudah mencobanya dan tidak berbanding lurus dengan kemenangan calon yang diusungnya. Sampai disini, sesungguhnya belum terjawab, “apakah calonnya yang diusungnya salah atau konvensinya yang salah?”
Keenam, Politisasi Birokrasi. Ketika musim pilkada seringkali orang menyebut sebagai musim terbelahnya birokrasi karena terseret arus dukung-mendukung calon, yang sesungguhnya membuat birokrasi tidak nyaman. Aparatur dihinggapi rasa ketakutan, saling mencurigai dan bisa berimplikasi terhadap fungsi pelayanan terhadap masyarakat.
Ketujuh, Money Politic. Tentunya kita bisa membedakan antara cost politic (biaya politik) dengan money politic (politik uang). Saat ini menurut penulis money politic itu sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Potretnya bisa terlihat dalam pemilu 2019 yang baru lalu, dimana money politic dilakukan secara vulgar, masif, canggih, dan variatif. Dan yang lebih menyedihkan lagi hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa 71,72% masyarakat menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Inilah potret budaya politik kita saat ini. Pragmatisme yang sesungguhnya adalah “musuh bersama” saat ini justru terjadi di tingkat elit sampai masyarakat kecil. Money politic adalah awal pemerintahan yang korup.
Kriteria Sosok Negarawan
Dalam kesempatan ini, berpijak pada definisi yang dikemukakan sebelumnya, penulis mencoba memberikan kriteria akan sosok negarawan tersebut. Dalam imajinasi penulis negarawan memiliki kriteria sebagai berikut: pertama, Sosok yang memperbaiki masa lalu dengan tidak menyalahkan masa lalu serta tidak membusungkan dadanya.
Kedua, memiliki visi yang jelas dan futuristik akan masa depan kabupaten yang hendak diwujudkan, dan yakin dengan kekuatan pikiran yang dimilikinya serta selalu memikirkan kemajuan generasi setelahnya.
Ketiga, Bernyali tapi ikhlas dan tidak pernah takut kehilangan jabatan. Pemimpin perlu nyali yang tinggi untuk mewujudkan kekuatan dan keyakinan pikirannya akan visi yang hendak dicapai, berani mengambil resiko namun logis dan terukur, bukan spekulan.
Keempat, tidak menggunakan kewenangannya untuk memperkaya diri, bukan pemburu rente.
Kelima, tidak menjualbelikan jabatan SKPD.
Keenam, yang menjamin tidak adanya Cash Back dalam setiap proyek pemerintahan. Hal ini adalah sebagai langkah awal untuk memutus “vicious cyrcle” (lingkaran setan) dalam pemerintahan. Ketika ditetapkannya Sekda dan salah satu Kepala Dinas sebagai tersangka korupsi ini adalah preseden buruk bagi Kabupaten Tasikmalaya. Dalam kasus korupsi semuanya bisa “saling menggoda”, “saling menutup”, “saling menjerat”, “saling mengunci”, bahkan “suka sama suka”, atau “tahu sama tahu”.
Oleh karenanya perlu keberanian pula untuk memutus“vicious cyrcle”. Saat ini “vicious cyrcle” terjadi dalam proses pilkada, terjadi dalam praktik politik-pemerintahan pasca pilkada.
Ketujuh, Yang menjamin Transparansi dan Akuntabilitas APBD.
Kedelapan, memiliki investasi sosial yang baik.
Kesembilan, Yang sudah “tidak perlu duit”, investasi Akhirat semata. Kesepuluh. Dia adalah orang kuat, bersih dan memiliki religiositas yang tinggi.
Saat ini reformasi politik belum berbuah manis dengan terjadinya reformasi birokrasi dalam arti seutuhnya dan seluruhnya. Reformasi politik dan reformasi birokrasi adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah keniscayaan.