Oleh Dr. Maulana Janah
Dosen Sosiologi pada Fakultas Dakwah IAI Cipasung
Ruang publik bangsa Indonesia terus dihantui dengan munculnya berbagai kasus kekerasan. Setiap detik, menit, dan jam, Pemberitaan tentang kekerasaan menghiasi layar kaca, internet, dan medsos.
Kenyataan ini membuat ruang publik kita semakin tidak sehat. Munculnya berbagai kekerasan yang terjadi saat ini menggambarkan suasana kehidupan manusia yang semakin amoral. Sangat ironis, perilaku kekerasan dipertontonkan dihadapan publik. Padahal dalam banyak kasus pelakunya tidak tersentuh oleh hukum.
Sebagai suatu gambaran, publik masih bertanya-tanya siapa pelaku kekerasan penyiraman air keras kepada mantan penyidik KPK Novel Baswedan?. Pelaku utamanya sampai hari ini masih menjadi bahan perbincangan.
Kasus kekerasan lainnya yaitu kekerasan fisik terhadap Ade Armando. Pada kasus ini, para pelakunya sudah banyak yang ditangkap dan di meja hijaukan. Aparat penegak hukum dengan cepat memprosesnya.
Kekerasan yang terjadi saat ini dilakukan dengan motif yang berbeda-beda. Biasanya para pelaku kekerasan merekonstruksi dan merencanakan untuk melakukan tindakan tersebut. Kekerasan dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dan dalam kasus tertentu tidak sedikit yang melakukannya dengan mengatasnamakan agama tertentu.
Pada konteks yang lain, terjadinya kekerasan diakibatkan oleh proses memahami dan mencerna pesan yang salah. Pesan tersebut dihasilkan dari interaksi sosial melalui media internet, medsos yang memproduksi konten-konten kekerasan, ujaran kebencian, dan berita hoax. Akibatnya, dalam dunia maya tersebut penuh dengan ketegangan seperti saling menghasut dan saling membenci.
Realitas dunia maya ini sangat berbahaya karena akan menjadi pemicu bagi lahirnya kekerasan dalam pergaulan nyata yang sesungguhnya.
Kekerasan Verbal
Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh seorang manusia terhadap manusia yang lain sangat beraneka ragam. Misalnya tindakan kekerasan fisik dan tindakan kekeran non fisik. Oleh karena itu, untuk membedah apa dan bagaimana tindakan kekerasan yang terjadi dalam dunia yang terus mengalami perubahan. Diperlukan suatu pendekatan sistem berbasis nilai, sebab faktanya setiap orang memiliki dunianya sendiri. Suatu dunia yang dibangun melalui nilai-nilai yang melekat dalam dirinya sehingga menjadi cara pandang yang mendasari pergaulan manusia.
Suasana kehidupan seseorang selalu erat hubungannya dengan seberapa intens suatu lingkungan dapat memberikan pengaruh positif-negatif yang signifikan dalam membentuk kepribadiaannya. Di dalam lingkungan tersebut, dapat dianalisa eksistensi atau keberadaan seseorang terkait dengan respons dan tindakannya terhadap lingkungan sosial.
Munculnya berbagai kasus kekerasan fisik di ruang publik menjadi pertanda bahwa para pelaku telah kehilangan orientasi nilai kemanusiaan. Sementara di sisi lain, seseorang kecewa terhadap institusi hukum yang sering abai terhadap persoalan kekerasan ini. Akibatnya, seseorang dengan mudah memberikan hukuman kepada orang lain melalui jalan kekerasan tanpa melalui jalur peradilan.
Contoh lain, dalam kasus kekerasan verbal (lisan dan tulisan), ucapan lisan yang menodai, menyakiti, mencaci maki, dan bahkan memberikan “label” tertentu (seperti cebong, kampret, dan kadrun) dianggap lumrah dan biasa. Dampaknya pergaulan sosial antar sesama manusia semakin tidak sehat, saling curiga, dan saling bermusuhan secara nyata. Apabila kondisi tersebut dibiarkan, dampaknya akan semakin parah, bahkan bisa mengakibatkan keretakan kohesi sosial bangsa Indonesia.
Kekerasan Simbolik
Seorang sosiolog berkebangsaan Francis yaitu Bourdieu, memberikan analisa dan sumbangan pemikiran bahwa kekerasan simbolik terjadi karena mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan. Sesuatu yang diamati selama ini dari yang ditimbulkan di luar individu. Sementara itu, ruang kehidupan seorang manusia, memiliki hubungan erat dengan modal kapital atau sumber daya, kepemilikan atau komposisinya.
Hal tersebut di atas, acapkali dipakai untuk menguasai atau mendominasi suatu masyarakat. Ada empat jenis kapital: kapital ekonomi, kapital budaya, kapital sosial, dan kapital simbolik. Dalam kajian Bourdieu dijelaskan tentang konsep ‘arena’. Menurutnya ‘arena’ merupakan konsep di mana pertarungan para pemilik kapital dan strategi dominasi (dikuasai atau menguasai) itu terjadi.
Praktik kekerasan simbolik dilakukan melalui proses menguasai dan dikuasai. Caranya melalui bahasa yang diungkapkan dan penekanan simbol yang masuk kealam pikiran masyarakat yang dikuasi. Dengan demikian, masyarakat merasa bahwa dirinya itu bagian dari penguasa atau kekuasaan, yang sedikitpun tidak merasa tertindas dengan dominasi para penguasa tersebut.
Kekerasan simbolik dapat berjalan karena adanya mekanisme melalui dua cara yaitu, eufimisme dan sensorisme. Eufimisme adalah suatu kondisi di mana kekerasan simbolik bersifat laten (tidak tampak), bekerja secara ‘perlahan’ dan ‘halus’, bahkan tidak dapat dikenali. Pada titik yang lain diperkuat adanya mekanisme sensorisme yang bermakna kekerasan simbolik sebagai bentuk ‘pelestarian’ semua nilai yang dianggap sebagai ‘moral kehormatan’.
Lebih lanjut, Bourdieu melihat posisi inti dari hubungan bahasa dan mekanisme kekuasaan simbolik. Pada kehidupan sehari-hari kekuasaan simbolik jarang nampak dalam bentuk kekuatan fisik. Namun, lebih pada bentuk simbolik. Hal itu mencirikan bentuk ‘legitimasi’ yang tidak dimiliki oleh semua orang. Bourdieu mengekspresikan poin penting ini dengan mengatakan bahwa kekuasaan simbolik adalah “kekuasaan yang tidak nampak”.
Selanjutnya, dalam banyak kasus, masyarakat tanpa sadar telah mengalami kekuasaan dan kekerasan simbolik. Menurut Bourdieu kesadaran itu tidak akan terungkap karena masyarakat sudah mengalami doxa (pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat).
Dalam kondisi tersebut, masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan penguasa. Selanjutnya, Bourdieu menjelaskan bahwa bentuk kekerasan simbolik itu tidak ‘kasar’, ‘kekerasan’ yang tidak ‘terikat’, ‘kekerasan’ yang ‘dibatinkan’ dalam sikap dan kepercayaan, kewajiban, loyalitas pribadi, hadiah, utang, dan kesalehan, yang semuanya merupakan bentuk kebaikan dalam etika kehormatan.***