OPINI

Minyak Goreng, Ironi Negeri Sawit

×

Minyak Goreng, Ironi Negeri Sawit

Sebarkan artikel ini

Oleh Hana Setyaningsih
Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Galuh

Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai sampai 2021 seluas 15,08 juta hektare (Ha). Luas perkebunan tersebut ditengarai naik 1,5% dibanding tahun sebelumnya. Sementara produksi minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) Indonesia sampai 2021 menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sebesar 46,88 juta ton.

Capaian produksi tersebut menjadikan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia, sesuai dengan pernyataan menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahwa Indonesia menguasai 42,02 persen luas tanaman kelapa sawit di dunia.

Minyak Goreng dan Kegaduhan

Pada 1 Februari 2022 Kementerian Perdagangan menetapkan harga eceran tertinggi atau HET untuk minyak goreng senilai Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.

Namun ketersediaan minyak goreng di pasaran cenderung langka, bahkan di ritel modern seperti di swalayan kerap tidak ditemui keberadaan minyak goreng ini. Tak ayal antrian minyak goreng pun terjadi di beberapa daerah. Bahkan warga rela berdesak-desakan untuk mendapat minyak goreng dengan harga lebih murah.

Seperti dilansir dari CNN (9/3) bahwa terjadinya antrean warga Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan mengular hingga lebih dari satu kilometer demi mendapatkan minyak goreng pada operasi pasar yang digelar Pemerintah Kabupaten Lahat di GOR Bukit Telunjuk. Bahkan di Berau, Kalimantan Timur seperti yang dilansir dari TV One News seorang ibu rumah tangga meninggal dunia ketika akan ikut mengantre untuk mendapatkan minyak goreng murah.

Masyarakat baik para pedagang maupun ibu-ibu banyak yang mengeluhkan kenaikan harga minyak goreng. Mereka juga khawatir kenaikan minyak goreng ini akan terus meningkat seiring dengan datangnya bulan ramadan. Terlebih setelah pemerintah mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng pada 15 Maret 2022.

Tindakan tersebut membuat ketersediaan minyak goreng sudah lebih mudah dijumpai baik di pasar tradisional maupun modern seperti ritel. Harga ini diserahkan kepada mekanisme pasar, namun dengan adanya tindakan tersebut membuat harga minyak goreng terus meningkat.

Hingga saat ini harga minyak goreng berkisar antara Rp 49.000 hingga Rp 53.000 per 2 liter untuk minyak goreng kemasan. Harga ini sangat jauh berbeda dengan Negara Malaysia yang juga merupakan negara penghasil minyak sawit, harga minyak goreng di sana senilai Rp 8.500 per Kg.

Menteri perdagangan juga mengakui kebingungan atas stok minyak goreng kemasan yang tiba-tiba melimpah “Saya juga bingung barang ini dari mana? tiba-tiba keluar semua,” kata Mendag saat berdialog dengan ibu-ibu, dikutip dari Tribunnews, Minggu (20/3/2022). Hingga saat ini belum diketahui secara pasti siapa dalang dibalik penimbun minyak goreng.

Parpol dan Minyak Goreng

Di sisi lain, ada fenomena beberapa partai politik menggelontorkan minyak goreng untuk membantu warga. Seperti halnya PDIP Sumatra Utara memberikan bantuan 10 ton minyak goreng kepada pelaku usaha kecil secara gratis. Lalu partai Golkar Jawa Timur menggelontorkan sedikitnya 5.000 paket minyak goreng untuk pedagang gorengan dan ibu-ibu.

Kemudian Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono  menyalurkan 16 ribu liter minyak goreng kepada masyarakat dengan harga Rp 11.500 per liter. Lalu DPS PSI Kabupaten Bekasi juga menggelar pasar murah dengan harga Rp 10.000 per liter. Partai Demokrat Sumatra Utara juga turut membagikan minyak goreng gratis kepada masyarakat.

Baru-baru ini Megawati yang juga merupakan Ketua Umum DPP PDIP melakukan demo memasak tanpa minyak goreng. Sebelumnya beliau mengaku heran terkait dengan fenomena ibu-ibu mengantre dan berebut minyak goreng. Tentunya hal ini mengingatkan kembali para ibu-ibu agar lebih kreatif lagi dalam mengolah makanan ditengah kelangkaan minyak goreng.

Saya kira partai politik tidak perlu juga berperan membagi-bagikan minyak meski masyarakat membutuhkannya. Bukan fungsi partai untuk membagikan minyak. Peran partai bukan di situ, salah-salah bisa dipersepsikan hanya mencari simpati saja terlebih memasuki tahun-tahun politik.

Sejatinya partai politik yang memiliki fungsi menghimpun dan menyalurkan aspirasi rakyat, disalurkan untuk mendorong kader-kadernya yang duduk di parlemen. Agar mereka lebih serius lagi menjalankan fungsi kontrolnya atas setiap aktivitas/kebijakan pemerintah.

Selain itu, ini bukan pula persoalan cara masak masyarakat yang harus dirubah, namun pemerintah harus melakukan yang tidak bisa dilakukan masyarakat biasa.

Sanksi bagi Penimbun

Menteri Perdagangan (Mendag) seperti diberitakan Pikiran Rakyat Depok mengungkap kebocoran minyak goreng sebanyak 415 juta liter yang dijual ke luar negeri. Dijualnya migor ini dikarenakan harga CPO dunia yang sedang naik oleh karena itu penjualan ke luar negeri lebih membuat untung dibandingkan dengan menjual ke dalam negeri, akibatnya harga minyak dalam negeri tidak kunjung turun.

Selanjutnya Mendag akan mengumumkan siapa saja yang menjadi tersangka mafia minyak goreng pada 21 Maret 2022, tentunya kabar ini sangat ditunggu oleh masyarakat sebagai salah satu langkah untuk mengetahui siapa dan kemana keberadaan minyak goreng selama ini.

Namun hal ini batal diumumkan dan belum dipastikan kapan akan dilakukannya. Justru Kemendag menyerahkan ini kepada kepolisian. Tentunya dengan adanya hal tersebut membuat masyarakat semakin menaruh rasa curiga pada pihak tertentu.

“Dugaan saya itu bukan mafia, mafia kan persekongkolan banyak orang, barangkali yang tepat kartel dalam hal produksi, pemasaran dan harga minyak goreng,” kata Khudori yang merupakan pakar dari pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), dikutip dari Bisnis.com.

Sedangkan sanksi bagi penimbun minyak goreng akan dijerat pasal 107 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dengan hukuman penjara 5 tahun atau denda Rp 50 miliar. Sedangkan untuk aksi monopoli perusahaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyiapkan aturan denda 50 persen dari laba sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Namun hingga saat ini masih belum ada pihak yang menjadi tersangka padahal sudah beberapa bulan krisis ini terjadi di Indonesia.

Pemerintah dan Harapan
Keadaan pandemi Covid-19 ditambah dengan kelangkaan minyak membuat kalangan masyarakat menengah ke bawah semakin tertekan. Pemerintah yang mempunyai wewenang diharapkan mampu memobilisasi kondisi ini menjadi lebih baik.

Dibutuhkan suatu kebijakan yang menunjang kesejahteraan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri minyak goreng merupakan suatu kebutuhan yang tidak serta-merta dapat diganti. Contohnya saja para pedagang yang memerlukan minyak dalam jumlah yang tidak sedikit. Setelah adanya krisis migor terpaksa menaikan harga jual atau bahkan mengurangi porsi dagangan, tentunya hal tersebut akan mempengaruhi daya jual.

Diperlukan perhatian serius untuk menangani hal ini, diharapkan pihak yang memiliki wewenang dan kekuasaan dapat segera mencari jalan keluar dari adanya masalah ini.

Kasus seperti ini bukan pertama terjadi, sebelumnya pernah terjadi pada zaman Menko Ekonomi Rizal Ramli. Saat itu kelangkaan dan harga minyak dapat kembali normal dalam waktu tiga minggu.

Mengapa saat ini tidak bisa? Saya kira kasus ini semakin menegaskan pentingnya peran pemerintah dalam menjamin kebutuhan pokok, terlebih ketika memasuki Ramadhan dan Idul Fitri.

Demikian juga para pengusaha sawit, hendaknya jangan rakus berlebihan karena sudah untung dengan harga pasar di luar negeri. Mereka menanam sawit di tanah negara yang sesungguhnya itu milik rakyat, beberapa waktu lalu para pengusaha sawit pun mendapat kredit murah (kredit likuiditas) dari Bank Indonesia yang bunganya hanya 2 persen per tahun, sementara UKM bunganya 12 persen per tahun.

Permainan harga minyak goreng di pasaran banyak pihak menduga bahwa pelakunya pihak yang sama seperti yang terjadi sebelumnya. Pemerintah tentunya tahu siapa saja “Raja Sawit” dari pihak swasta maupun BUMN.

Jika menyerahkan harga minyak kepada mekanisme pasar, pertanyaannya dimana pemerintah hari ini? Ini adalah salah satu ukuran apakah pemerintah bisa mengelola masalah minyak goreng dengan baik atau tidak.

Pemerintah harus bertanggung jawab bagaimana menyediakan kebutuhan harga pokok dengan harga yang terjangkau oleh rakyat dengan melakukan stabilisasi harga, memantau distribusi dari banyaknya oknum distributor yang menimbun barang, dan menindaknya dengan tegas. Ketika masyarakat antre dengan minyak, saat bersamaan banyak kendaraan pengangkut minyak mengalami musibah kecelakaan, minyak tumpah di jurang dan jalanan.

Belum selesai soal minyak goreng, kini muncul berita soal kenaikan harga pertamax pada saat Malaysia lebih mampu memberikan harga murah bagi rakyatnya. Ini masalah serius soal kedaulatan ekonomi dan kedaulatan/ketahanan pangan, di samping persoalan nasionalisme. Ada apa sebenarnya dengan negeri ini? Begitu Ironi dan menyedihkan.***