KAPOL.ID — Saat ini para pemilik pangkalan gas LPG yang ada di Kabupaten Sumedang khususnya yang berlokasi di perbatasan Sumedag-Bandung mengalami kerugian.
Hal tersebut disampaikan oleh NJ salah seorang pemilik pangkalan yang ada di Jatinangor.
“Saya sudah biasa menjadi pemasok gas LPG ke warung-warung, UMKM terdekat dari pangkalan, namun sekarang warung-warung dan para pelaku UMKM yang biasa dipasok malah menolak karena sudah ada pengirim lain, ditambah karena banyaknya beredar gas segel hijau, masyarakat pun ikut memakai gas ber segel hijau” ungkapnya.
Dikatakan, gas LPG 3Kg yang segelnya berwarna hijau itu milik Wilayah kabupaten Bandung, Senin (21/04/2025).
“Pantas saja, warung-warung dan UMKM terdekat di wilayah Jatinangor khususnya, menerima pasokan dari Bandung karena memang Harga Eceran Tertinggi (HET) antara Sumedang dan Bandung bedanya sampai dua ribu empat ratus rupiah,” jelas NJ.
HET pangkalan wilayah Bandung 16.600, lanjut NJ, sedangkan HET pankalan untuk wilayah Sumedang 19.000. Namun hal ini melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh PERTAMINA.
Aturan penjualan gas 3 kg sesuai rayon ditetapkan oleh Pertamina untuk mengatur distribusi gas LPG (Liquid Petroleum Gas) di Indonesia. Berikut beberapa aturan yang terkait:
1. Penjualan gas LPG 3 kg hanya dapat dilakukan oleh agen resmi Pertamina.
2. Agen resmi Pertamina wajib menjual gas LPG 3 kg sesuai dengan rayon atau wilayah yang telah ditentukan.
Tujuan Aturan
1. Meningkatkan efisiensi distribusi gas LPG.
2. Menghindari kelangkaan gas LPG di wilayah tertentu.
3. Meningkatkan keamanan dan kualitas gas LPG.
Sanksi
Agen resmi Pertamina yang melanggar aturan penjualan gas LPG 3 kg sesuai rayon dapat dikenakan sanksi, seperti:
1. Teguran tertulis.
2. Pembekuan izin usaha.
3. Pencabutan izin usaha.
Aturan ini bertujuan untuk memastikan distribusi gas LPG yang efektif dan efisien, serta meningkatkan keamanan dan kualitas gas LPG bagi konsumen.
“Oleh karena itu, kami memohon kepada pihak Pemerintah hal ini harus cepat ditangani dengan serius!,” tegas NJ.
Seingat saya, kata NJ, dalam Undang-Undang pasal 55 UU No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang telah diubah dengan Undang-Undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan istilah OmnibusLaw, ditegaskan :
“Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak,bahan bakar gas dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp.60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah)”. (Helmi)***