Oleh Makmun Alfikry
(ASN Kementerian Agama Peminat masalah Sosial dan keagamaan)
Peralihan kepemimpinan adalah satu keniscayaan. Hal yang penting bagi keberlangsungan satu tatanan manusia. Ada satu generasi mesti meninggalkan satu arena sebab telah ‘tutup buku’. Sebab meninggal, atau tidak sanggup lagi memimpin karena sakit, dll. Atau sebab telah jatuh tempo untuk segera digantikan. Apapun dalihnya pada saatnya pemimpin baru mesti hadir di tengah-tengah kita, masyarakat atau warga negara.
Atas pentingnya seorang pemimpin, konon tatkala Kanjeng Nabi Muhammad tutup usia, pada hari itu pula segera para Sahabat senior berkumpul pada satu tempat Saqifah Bani Saidah untuk memikirkan pengganti kepeminpinannya (khalifah). Pasalnya Muhammad SAW bukan saja Nabi-Rasul, pembawa risalah-pesan Tuhan, pemimpin Agama Islam, tetapi ia adalah Panglima Negara.
Dalam pada ini ada hal penting sepeninggal beliau segera diambil oleh pemimpin baru. Hingga akhirnya musyawarah bermufakat menetapkan Abu Bakar Shidiq RA sebagai penerus. Khalifah bagi negara Madinah dan umat Islam. Tak terkecuali kepempinan pasca Abu Bakar dan Khulafaurasyidin lainnya, ada estapeta imamah-khifah yang berkesinambungan. Dengan caranya masing-masing, hatta yang merebutnya. Yang pada mulanya ‘diperselisihkan’ namun akhirnya menjadi legal setelah para pihak tunduk (baiat) atas pemimpin baru.
Hal yang sama untuk pemimpin di dalam era modern kini. Setiap negara atau kawasan denfgan khas masing-masing. Ada yang estapeta berdasarkan garis ahli waris, negara berbentuk kerajaan (dinasti, kaisar). Ada pula yang dipilih atau permusyawaratan. Hal kedua ini ciri khas negara berhaluan demokrasai. Indonesia sendiri termasuk pada kategori ini. Kepemiminan tertinggi (Presiden) hingga pemimpin paling rendah berdasarkan pilihan. Baik langsung atau perwakilan.
Atas pentingnya sosok pemimpin rasul telah menyampaikan dalam satu riwayat “Jika tiga orang bepergian hendaknya mereka mengangkat salah seoarng menjadi pemimpinnya (HR Abu Daud). Dan menurut kesepakatan (ijma) ulama, kepempinan adalah wajib. Tak terkecuali menurut Syekul Islam Ibnu Taimiyah, bahwa; ‘Harus diketahuai bahwa adanya kepemimpinan untuk mengurusi orang merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tanpaya agama dan dunia ini tak akan tegak.’ (Majmu’ Alfatawa Ibnu Taimiyah).
Persoalannya adakah relevansi antara kondisi ketika Rasulullah wafat, yang kala itu harus segera ada penggantinya. Termasuk pasca kepemimpinan khulafaurasyidin, berikut di masa Ibnu Taimiyah menyampaikan fatwanya, dengan situasi masa modern ini?. Tentu saja tidak. Bukan sebab waktu-zaman yang berbeda tetapi situasi masyarakat dan kepempinan di dalamnya.
Boleh jadi ketika zaman rasul memimpin, ia pemimpin tunggal. Mulai urusan agama hingga negara. Ia selaku Imam, pemimpin umat beragama juga selaku Presiden. Sebagai pembuat dan pelaksana hukum. Termasuk Panglima perang, pengatur strategi, dll. Dikala pemimpin tiada, maka fungsi-fungsi tersebut seketika hilang pula. Ini pertanda situasi negara/agama dalam keadaan darurat.
Sebab demikian saat itu pula wajib adanya pengganti. Demikianlah urian ‘tafsir’ dari peristiwa suksesi Abu Bakar Shidq RA sesaat setelah Rasul wafat yang mengabaikan pemulasaraan jenazah, menunda pemakamannya. Bagi ‘mazhab’ ini kepemimpinan lebih utama. Sebab menyangkut urusan negara terlebih soal agama. Yang pada akhirnya akan menentukan siapa yang akan mengimami shalat jamaah, termasuk menjadi ‘panglima’ dalam urusan negara.
Bukan saja situasi kepemimpinan tunggal, dominan terjadi di masa rasul dan sahabatnya. Termasuk pada masa pemerintahan (baca kekhifahan) ratusan tahun setelahnya. Dimana sistem kerajaan (mamlakah) kembali lagi mendominasi sistem pemerintahan. Seorang raja, sultan dan/atau istilah sejenis lainnya memiliki otoritas penuh –seperti fungsi-fungsi di atas- dalam negera. Adakalanya ketaatan kepada raja bersifat absolut, tidak bisa ditawar oleh rakyatnya. Kehadiran raja adalah simbol (masih) tegaknya suatu negara.
Pemimpin Zaman Moderen
Bagaimana di masa –kepemimpinan- sekarang?. Tentu saja jauh berbeda dengan masa-masa di atas. Boleh jadi kerajaan atau dinasti masih ada, tetapi hanya segelintir yang ‘absolut’. Jika dicontohkan Saudi Arabia dan Brunei Darussalam. Tetapi kebanyakan dinasti sekedar simbolik. Kekaisaran masih dirawat sebagai fungsi budaya. Merupakan khazanah peninggalan zaman nenek moyangnya yang terus dipertahankan sebagai ‘identitas’ bangsanya.
Ia tidak memiliki otoritas dalam pemerintahan. Sebab roda pemerintahan dijalankan oleh pihak lain. Presiden atau Perdana Menteri hasil pilihan rakyat. Adanya suksesi raja seperti cagar budaya saja. Kerajaan Inggris atau Malaysia diantara contohnya.
Alih-alih bagi negara dengan sistem demokratis. Dimana kepemipinan bukan didominasi oleh satu orang atau pihak, tetapi bersifat kolektif kolegial. Dalam bahasa lainnya trias politika. Ada pihak pembuat perundangan, Legislatif, ada pihak yang menjalankan undang-undang, Eksekutif dan pihak penyelenggaran hukum, peradilan, Yudikatif. Masing-masing pihak memiliki peran strategis.
Memang ada pihak yang terlihat lebih dominan, yaitu eksekutif yang ‘simbolkan’ oleh Presden dan Wakil Presiden. Pasalnya hanya dua orang ini, dan terutama Presiden yang memiliki wewenang mendongkarak laju pemerintahan. Dengan hak (baca keistimewaaan) preogatif dan hak lainnya sesuai perundangan. Hak untuk memilih dan/atau menentukan orang dan lembaga strategis lain penyokong pemerintahnnya. Alih-alih selaku Kepala Negara.
Namun demikian, dalam keadaan darurat seperti Presiden tdak berfungsi, karena berbagai alasan. Tidak lantas negara dalam keadaan bahaya. Sebab telah tersedia perundangan, tentang mekanisme pemikul otoritas kepala negara, mengganti fungsi presiden. Hal yang termaktub dalam konstitusi kita, Pasal 8, UUD 1945 yang telah disempurnakan (amandemen ke 4 pada 2002) pada ayat (3) menyebutkan : Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selanjutnya MPR diberi waktu 30 hari untuk memilih Presiden dan Wapres baru dari urutan terbanyak dan kedua hasil pemilu guna mengisi kekosongan tersebut hingga berakhir. Walhasil kondisi seperti ini tidak harus segera, seketika ada pengganti yang sah, tetapi ada alur yang runut sesuai mekanisme.
Posisi Kepala Daerah
Seperti halnya Presiden dan Wakil Presiden yang ditentukan -melalui proses Pemilu- berdasarkan pilihan rakyat. Ada lembaga eksekutif lain di bawahnya. Ia adalah Kepala Daerah. Tingkat Provisni (Gubernur) dan untuk Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota). Mereka memiliki wewenang untuk mengolah daerahnya sesuai perundangan. Terutama dalam hal fungsi pemerintahan.
Namun demikian wewenangnya tidak sebesar presiden. Bukan saja sebab lebih luas cakupan wilayahnya tetapi soal kapasitasnya. Presiden adalah Kepala Negara, Wali Rakyat, Simbol Negara, Panglima Tertinggi angkatan perang. Pihak yang berhak menentukan ‘hidup dan matinya’ satu negara. Seluruh tanah, air dan udara yang ada dalam batas tertorial wilayah negara ada dalam wewenangnya.
Kewenangan Presiden termasuk di dalamnya keberadaan Kepala Daerah. Wajib mendapatkan mandat (baca keputusan dan pelantikan) oleh Presiden selaku Kepala Negara. Dalam keadaan tertentu bisa saja Presiden menunda atau bahkan menolak, tidak mengeluarkan putusan (calon) kepala daerah hasil Pemilu. Termasuk berhak memberhentikan kepala daerah yang tengah menjabat. Dalam pada ini tentu ada perundangannnya. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, terkait hal ini. Walhasil sosok Kepala Daerah tidak segenting Kepala Negara.
Pilkada Versus Wabah
Pergantian pemerintahan, pusat maupun daerah adalah amanat undang-undang. Ada saatnya Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota meninggalkan kursinya, sebab telah mencapai batas tugas, selama periode tertentu. Selanjutnya digantikan oleh ‘rezim’ baru.
Ajang atau proses pergantian kepala derah kita kenal dengan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Secara periodik dalam rentang lima tahunan. Untuk ajang ini Perundangan kita mengatur secara serentak pada wakatu/tanggal yang sama. Meksipun ‘titimangsa’ pergantian rezim bisa jadi berbeda.
Berdasarkan jadwal penetapan KPU, bahwa pelakanaa Pemilikada periode tahun ini akan terlaksana pada tanggal 09 Desember 2020. Tahap demi tahapan telah dilalui hingga penetapan nomor urut pasangan Calon Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati dan Walikota. Dan tahapan berikutnya masih akan terus mengalir sesuai jadwal, terutama para Calon Kepala daerah, atau tim terus bergerilya mendekati simbol dan simpul masyarakat calon pemilih. Tak terkecuali warga, simpatisan lainnya melakukan hal yang sama. Baik secara langsung atau melalui daring.
Namun demkian, di sisi lain situasi pandemi Covid 19 masih mewabah di antara kita. Malah kian hari kasus baru terus bertambah. Tak terkecuali di daerah-daerah yang akan melakukan Pemilukada. Berdasarkan informasi peta pemyebaran, tidak ada satu daerah pun di Indonesia yang dinyatakan benar-benar steril dari wabah ini. Seluruhnya berpotensi masuk dalam zona bahaya dalam masa yang belum dipastikan berhenti.
Hal demikian ini terang saja cukup kontradiktif. Di satu sisi masyarakat, dan terutama penyelenggaran Pemilukada harus proaktif menyelenggarakan tahap demi tahapan. Yang dimungkinkan, atau mesti berkumpul dalam satu spot yang sama. Di sisi lain keadaan bahaya cukup mengancam. Penyebaran wabah virus ini lebih cepat bermutasi antar manusia. Baik langsung atau melalui benda yang terkontak secara bersama.
Hal demikian terang ini jadi masalah dan pemikiran bersama. Alih-alih pelaksanaan Pemilukada terlaksana sesuai tahapan sekaligus selamat, terhindar dari wabah ini. Inilah kondisi ideal.
Akan tetapi mampukah demikian?. Bisa jadi, dengan syarat protokol yang ketat. Minimal tidak terjadi kontak fisik dalam satu arena secara bersamaan. Tetapi mungkinkah ini?. Cukup sulit. Sebab Pemilukada bukan hanya usuran beberapa orang. Tetapi seluruh warga, calon pemilih. Masa yang begitu banyak cukup repot tertib sesuai protokol kesehatan. Nyatanya dalam keadaan PSBB masih banyak warga yang melanggar.
Jika sulit diatasi, manakah yang lebih penting (maslahat), Apakah terlaksananya Perundangan sesuai jadwal atau terjaganya kesehatan masyarakat. Dalam kata lain, jika Pemilukada (baca kewajiban konstitusi) terlaksana tetapi mengancam (madharat) kehidupan warga. Tentu saja kita wajib menyelamatkan nyawa warga. Selain sesuai dengan kaidah fiqih, bahwa menolak bahaya (daf’ul mafasid) lebih utama daripada meraih manfaat (jalbul masalih).
Alih-alih kewajiban, baik syariat atau kontitusi tidak harus mendesak (mudhayak), tetapi masih ada luang (muwasa’). Pun demikian jika tidak terpenuhi di sesuai waktu karena terganjal hal yang ‘dipertanggungjawabkan’, bisa diganti (qadha) di waktu yang lain. demikian hukum atau syari’at yang fleksibel, manusiawi dan tidak memberatkan.
Artinya Pemilukada tidak mesti sesuai jadwal semula. Bisa, bahkan harus dibuat jadwal ulang sesuai keadaan yang memungkinkan. Tak terkecuali bilapun ada beberapapa Kepala daerah –dalam masa menunggu waktu- yang sudah kadaluarsa, habis masa jabatan. Toh jabatan itu bisa diambil oleh Kepala Negara atau didelegasikan kepada para pihak sesuai konstitusi. Dengan demikian kekosongan Kepala Daerah bukan dalam keadaan bahaya. Wallahu’alam.***