Oleh Asep Mulyana
Secara ekonomi, populisme bentuk lama diidentikkan dengan kebijakan ekonomi yang menekankan pada peran negara intervensionis, nasionalisme ekonomi, proteksi industri, kepemilikan perusahaan oleh negara, kontrol harga, dan subsidi.
Identifikasi ini sering dipertentangkan dengan neoliberalisme yang menginginkan peran negara minimal, pengetatan anggaran, integrasi ke pasar
internasional, dan penciptaan pasar buruh yang lebih fleksibel. Penjelasan tentang populisme bentuk lama ini gagal untuk
mengidentifikasi bentuk baru populisme dalam kondisi ekonomi dan sosial pasca-Industri Substitusi Impor (ISI) (Roberts 1995).
Studi-studi yang mencoba memotret kemunculan populisme baru pada tahun-tahun 1980-an dan 1990-an mencatat bahwa populisme baru adalah karakter politik yang sangat mudah beradaptasi dengan orientasi atau model ekonomi yang berbeda. Studi yang dilakukan
Roberts (1995) dan Weyland (1996, 2000, 2003) memperlihatkan
bagaimana para pemimpin populis di Amerika Latin, seperti Menem di Argentina dan Fujimori di Peru, mampu mengintegrasikan watak populis ke dalam kerangka kebijakan neoliberal.
Roberts (1995) mengembangkan beberapa definisi populisme yang cukup lentur sehingga dapat digunakan secara fleksibel pada seluruh strategi pembangunan yang berbeda, yaitu:
1. Pola personalistis dan paternalistik, meskipun tidak harus karismatik;
2. Koalisi politik multikelas yang heterogen dan berkonsentrasi di
sektor masyarakat kelas bawah;
3. Proses mobilisasi politik top-down yang mem-bypass atau
mensubordinasikan bentuk-bentuk mediasi untuk membangun
hubungan yang lebih langsung antara pemimpin dan massa;
4. Ideologi amorfosis atau eklektik, ditandai dengan wacana yang
mengagungkan sektor kelas bawah atau antielitis;
5. Sebuah proyek ekonomi yang memanfaatkan metode
redistributif atau klientelistik yang luas untuk membangun basis material bagi dukungan rakyat.
Dengan definisi yang tidak terpaku pada paradigma ekonomi tertentu, kompatibilitas antara neoliberalisme dan populisme baru dapat terjelaskan. Relasi saling menguatkan antara neoliberalisme dan populisme terjadi karena kesamaan kepentingan.
Di satu sisi, populisme baru berkepentingan memfasilitasi reformasi propasar untuk mendapatkan stabilisasi dan basis ekonomi yang dapat menumbuhkan dukungan rakyat sekaligus meningkatkan pengaruh mereka melawan politisi oposisi dan kelompok kepentingan yang menentang mereka.
Pada sisi lain, neoliberalisme membutuhkan pemimpin populis untuk mengamankan program reformasi liberal dari resistensi kelompok kepentingan atau kelas politik pencari rente
(Weyland 2000).
Kompatibilitas neoliberal dan populisme baru tersebut disebut Roberts (1995) sebagai model populisme neoliberal. Populisme neoliberal menjadi ciri gejala yang terjadi di sebagian negara Amerika Latin, tidak hanya pada populis generasi pertama (Menem dan
Fujimori), tetapi juga populis generasi kedua yang pemimpinnya dipilih melalui mekanisme politik demokratik (Mexico, Columbia, Peru dan Argentina).
Bentuk populisme neoliberal dapat bertahan dalam kondisi ekonomi politik yang berbeda karena dua alasan:
1. reformasi ekonomi melemahkan organisasi menengah, seperti serikat buruh, dan hal itu telah melempangkan jalan bagi munculnya pemimpin populis yang kuat melalui pemilu;
2. model pasar telah mematangkan populisme menuju reformasi tata kelola pemerintahan dan administratif yang mempromosikan kesatuan rakyat dengan menghentikan konflik ideologi dan faksi yang mengurangi polarisasi politik di Amerika Latin (Ibid).
Jayasuriya (2006) menjelaskan populisme neoliberal sebagai jalan politik di Thailand ditandai oleh beberapa karakteristik, di antaranya:
1. Figur yang dianggap populis, memiliki koneksi dan pengaruh
kuat di sektor swasta. Figur ini kemudian menggunakan partai
sebagai kendaraan politik dengan dukungan kepentingan modal domestik dan pasar;
2. Kebijakan sosial yang diarahkan untuk membangun infrastruktur sosial secara lebih luas dan penciptaan masyarakat yang lebih mandiri dan kompetitif. Di Thailand, kebijakan sosial yang
diberlakukan bertujuan untuk mengamankan modal domestik
dari tekanan kompetisi di pasar global dan memberi jaminan
sosial bagi kaum miskin (propoor policy);
3. Kemunculan partai pendukung pemimpin populis yang dapat
disebut sebagai partai programatik. Partai ini tidak memiliki akar sosial atau program ideologi yang jelas;
4. Kapasitas partai untuk memainkan pertarungan dalam
pembentukan konstitusi yang membatasi kapasitas parlemen
dan meminggirkan oposisi politik. Keberhasilan atas upaya ini akan menentukan lahirnya bentuk-bentuk antipolitik yang
menghaluskan cara kerja kekuasaan eksekutif menjadi
teknokratik.
Setelah memperoleh kursi kekuasaan melalui Pemilu, Thaksin dan partainya (TRT) membangun proyek crafting yang mengatur model pasar melalui pembentukan tata kelola sosial dan ekonomi. Pembangunan kebijakan sosial dibangun dengan target kelompok miskin dengan janji keuntungan berupa dukungan politik dan penciptaan bentuk-bentuk kewirausahaan bagi kaum miskin. Proyek ini menciptakan bentuk baru kewargaan dan komunitas politik yang memuluskan jalan bagi Thaksin dan TRT untuk mengonsolidasikan
kekuasaan politik (Jayasuriya 2006).
_Bahan Bacaan_
1. Jayasuriya, K. 2006. Statecraft, Welfare, and the Politics of Inclusion. New York: Palgrave Macmillan.
2. Roberts, K. 1995. “Neoliberalisme and the Transformation of Populism in Latin America: the Peruvian case”. World Politics 48 (1): 82—116
3. Weyland, K. 1996. Neopopulism and Neoliberalism in Latin America: Unexpected
Affinities”. Studies in Comparative International Development 32 (3): 3—31.
4. Weyland, K. 2003. “Neopopulism and Neoliberalism in Latin America: how much affinity?” Third World Quarterly. Vol 24 No 6 pp 1095–1115.
5. Weyland, K. 2000. Neopopulism and Market Reform in Argentina, Brazil, Peru, and Venezuela. Paper for panel on The Political Ramifications of Neoliberalism in
Latin America XXII International Congress. Latin American Studies
Association.