Oleh Tatang Hidayat, M.Pd.
Penulis Nilai-Nilai Pemikiran Pendidikan KH. Choer Affandi dalam Jurnal Tadris Vol 14, No. 1 tahun 2019 IAIN Madura.
Fauz Noor Zaman kembali menyapa kita dengan novel sejarah. Selepas Syahadah Musthafa yang berkisah perjuangan KH. Zainal Musthafa (Ajengan Sukamanah) dan Cahaya Muhsin yang mengangkat biografi KH. A. Wahab Muhsin (Ajengan Sukahideng), kali ini ia datang dengan novel biografi KH. Choer Affandi yang dikenal di warga Jawa Barat dengan sebutan “Uwa Ajengan”.
Ketika novel ini dibuka order di-online, saya langsung pesan, karena sudah pasti novel ini akan indah dan menjadi bacaan penting.
Buku setebal 212 halaman ini, alhamduillah bisa saya selesaian tak lebih dari dua jam setengah saja. Di samping saya tak ingin berlama-lama lagi untuk larut dalam jalan cerita KH. Choer Affandi, juga karena gaya bahasa novelis asal Tasikmalaya memang indah.
Fauz Noor adalah seorang penulis yang gemar meletakkan rima pada tiap paragraf deskripsinya, gaya bahasanya khas, diksi-diksinya mengalir, bukan mendikte. Penggambaran tokoh, waktu, tempat dan budaya pun dibuat sedetail mungkin sehingga tidak perlu repot membayangkannya. Pembaca sudah dibawa hidup ke dalam cerita.
Dalam pendeskripsian membangun kalimat, Fauz Noor pasti mempunyai kekayaan literatur sastra yang sangat luas, sehingga diksi-diksi yang dipilih terkadang melompat tetapi pembaca sadar dan tak kehilangan makna. Kemampuan seperti ini hanya akan dimiliki oleh mereka yang “gila baca”.
Dari sisi bahasa, saya selalu terpesona, ia mampu mengolaborasikan kekayaan kosakata dan cara ia menuliskannya tidak pernah membosankan.
Kisah dalam buku ini benar-benar mampu menghipnotis, sehingga tidak menyadari kalau sudah tiba di akhir halaman. Saya selalu salut kepada penulis yang mampu menggambarkan dan mengolaborasikan data-data sejarah dengan gaya fiksi. Hal ini tentunya tidak mudah. Pastilah penulis sebelumnya telah melakukan banyak riset untuk menulis buku ini.
Para pembaca yang sebelumnya belum menelusuri literasi biografi KH. Choer Affandi, akan sulit membedakan mana yang sejarah dan mana yang fiksi, karena cerita ini dikemas dengan apik.
Setiap santri di tatar sunda umumnya, dan Priangan Timur khususnya, pasti sudah mengenal dengan sosok legendaris ini, KH. Choer Affandi. Dalam buku ini, Fauz Noor bukan hanya bermaksud mengabadikan perjuangan beliau, tetapi lebih dari itu, ia ingin mengabadikan bagaimana semangat juangnya dalam mencari ilmu, ketegasan memegang prinsip, cinta syariah, pengorbanannya dalam mempertahankan Jawa Barat dan negeri ini, serta dalam melanjutkan dakwah.
Ia ingin mewariskan nilai-nilai itu pada kita. Bukan sekedar mengenang hidupnya, tetapi mengajak kita hidup bersama beliau, dan menyeret kita untuk tenggelam pada berbagai golak rasa yang beliau alami sepanjang perjuangan.
Itulah kenapa, catatan sejarah yang mengandung fakta, data, informasi, dan praduga sejarah yang kualitas akurasinya ini dapat dipertanggungjawabkan, Fauz Noor tulis dalam balutan fiksi.
Selain untuk menarik kalangan milenial untuk membaca dan mengenal biografi para ulama (sebagaimana yang sering Fauz Noor katakan), juga untuk bisa menghadirkan semangat yang dicita-citakan, sehingga bisa menularkan rasa memiliki pada negeri Indonesia, cinta mendalam pada agama, dan kebutuhan yang besar untuk memperjuangkan keduanya.
Sementara itu, tidak lengkap kalau sebuah buku fiksi tidak melibatkan cerita kisah kasih di dalamnya. Saya sebagai pecinta roman tentu menyukai hal ini. Namun dalam novel ini, Fauz Noor belum berani menampilkan bagaimana kisah roman Choer Affandi masa mudanya. Inilah salah satu yang dirasa kurang dalam novel ini. Mungkin penulis memosisikan dirinya sebagai santri.
Barangkali, inilah salah satu kelebihan santri dalam menulis, tetap tidak meninggalkan identitasnya sebagai santri untuk menjaga adab-adab kepada gurunya, apalagi ketika mau menulis yang berhubungan dengan hal-hal pribadi.
Karena merupakan novel sejarah, saya mesti mengucapkan apresiasi kepada Fauz Noor yang telah melakukan riset melalui perjalanan menemui para keturunan KH. Choer Affandi untuk meminta izin dan mengambil data, menjejak kaki di sekitar tanah priangan bahkan bisa saja lebih dari itu untuk menelusuri perjuangan KH. Choer Affandi demi lahirnya karya ini.
Pada bagian prolog, saya salut pada penulis, beliau tidak risi langsung menyampaikan narasi salah satu peristiwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia yakni, peristiwa Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang selama ini oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang sebagai “pemberontak”.
Penulis pun tidak malu-malu untuk menyampaikan salah satu tujuan penulisan novel ini, adalah untuk sedikit mengikis makna “pemberontak” yang sering disematkan kepada para Ajengan Tasikmalaya. Ia menulis, “Di awal kemunculan DI/TII, hampir tak ada ajengan di Tasikmalaya yang menjadi DI/TII, hanya saja ada yang aktif terlibat atau sekedar hanya menjadi simpatisan diam.”
Terakhir saya ingin katakan, betapa novel ini merupakan pekerjaan besar bagi seorang penulis. Menyusun 212 halaman, menjahit fakta sejarah, menyisipkan pesan, serta membangun kisah fiksi yang merujuk referensi yang dia baca, pasti bukan pekerjaan mudah. Seharusnya perkerjaan itu disusun dalam waktu yang lama, namun ini disusun dengan waktu yang singkat saja. Kita pun menunggu jilid ke-2 dan ke-3.***