Oleh Ma’mun Alfikry
ASN Kementerian Agama
Indonesia bukan negara agama, teokrasi atau berpaham kepada salah satu agama. Bukan pula negara sekuler, mengesampingkan agama atau memisahkannya dengan negara. Di Indonesia justru agama jadi salah satu instumen negara. Dalam arti, bahwa konstitusi negara lebih banyak berdasarkan intisari ajaran agama yang universal. Atau menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, bahwa agama jadi inspirasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keadaan demikian tergambar dalam sila pertama dasar negara Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan bisa bermakna agama itu sendiri atau sikap spiritualitas dari kepercayaan absolut lainnya. Hal tumbuh subur di Indonesia. Lebih jauh lagi termaktub dalam UUD 45, pasal 29 dinyatakan bahwa, (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Siapapun rakyat indonesia tidak terhalang untuk beribadah dan/atau menjalankan syariat-agamanya sesuai dengan keyakinannya. Artinya negara tidak mengatur dalam hal cara ritual atau berdsarkan mazhab tertentu agama warganya. Urusan orientasi, ekspresi keagamaan adalah ranah pribadi masing-masing.
Namun demikian tentu saja negara tidak lalu berlepas tangan begitu saja. Pada praktiknya negara justru hadir memberikan fasilitas, layanan dalam menjalankan syariat bagi pemeluk agama (umat). Ada banyak perundangan yang secara khusus dibuatkan untuk kepentingan umat.
Seperti Undang-Undang Perkawinan, Peradilan Agama, Zakat, Haji, Pendidikan Agama dan Keagamaan. Di samping kebiasaan penyelenggaran negara (baca pemerintah) yang kerap melakukan peringatan momentum keagamaan. Seperti mempertingati maulid Nabi, hari Nuzulul Qur’an, dll. Hal paling istimewa kita memiliki Kementerian Agama, untuk melayani umat.
Selain dari pada itu bahwa negara kita mengakui eksistensi 6 agama formal, termasuk kepercayaan lainya. Dalam keadaan ini setiap penganut agama dan kepercayaan selayaknya memiliki hak yang sama dalam melaksankan ajaranya. Termasuk menerima fasilitas yang sama pula dalam kepentingan syariatnya.
Tentang SKB 3 Menteri
Pada penghujung bulan Januari lalu tersiar berita, bahwa di salah satu SMK Negri di Padang Sumatera Barat, sisiwi non muslim harus berpakaian berjilbab layaknya muslimah. Lantaran adanya aturan melalui institusi negara, Sekolah Negeri atau Pemerintah Daerah, tentang ketentuan berpakaian dengan model-simbol agama tertentu. Selain kejadian tersebut hal yang sama sebelumnya pernah terjadi di Bali, siswi muslimah tidak diizinkan memakai pakaian berhijab.
Banyak pihak yang merasa prihatin, kejadian tersebut seperti tengah menampilkan sikap intoleransi. Ada pemaksaan dengan tidak menghargai keragaman agama. Dan ini cukup berseberangan dengan konstitusi negara di atas.
Atas kejadian inilah jadii titik tolak Pemerintah dengan merespon melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. SKB tersebut ditandatangani Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama.
Dalam beberapa tayangan media massa, Mendikbud menyampaikan; “Pemerintah daerah ataupun sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Dalam SKB tersebut pemerintah memperbolehkan siswa dan guru untuk memilih jenis seragamnya.
Artinya, para guru dan siswa dibebaskan untuk memilih mengenakan pakaian dan atribut yang memiliki kekhususan agama atau tidak. Bahwa SKB 3 Menteri hanya berlaku bagi sekolah negeri sehingga tidak mengatur ketentuan berpakaian di sekolah swasta.
Lebih lanjut Mendibud menyampaikan, “Sekolah negeri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia, dengan agama apa pun, dengan etnisitas apa pun, dengan diversifitas apa pun. Kuncinya, hak dalam sekolah negeri untuk pakai atribut kekhususan agama itu adanya di individu guru, murid, orang tua, bukan keputusan sekolah di sekolah negeri,”
Bahwa terdapat enam ketentuan yang diatur dalam SKB ini. Pertama, SKB menyasar sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan memiliki hak memilih memakai seragam dan atribut tanpa kekhususan keagamaan atau seragam dan atribut dengan kekhususan keagamaan.
Ketiga, pemerintah daerah dan sekolah tidak diperbolehkan mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Keempat, peraturan ini mewajibkan kepala daerah dan kepala sekolah mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari sejak keputusan bersama tersebut ditetapkan.
Kelima, jika terjadi pelanggaran terhadap SKB ini, maka akan diberikan sanksi. Adapun sanksi akan dilakukan secara hierarkis. Pemerintah daerah memiliki wewenang memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, dan atau tenaga pendidikan. Gubernur memberikan sanksi kepada bupati atau wali kota.
Selanjutnya, Kemendagri, bisa memberikan sanksi kepada gubernur. Kemendikbud dapat memberikan sanksi kepada sekolah dengan menunda pemberian biaya operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Dan Kemenag juga akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan pertimbangan pemberian atau penghentian sanksi.
Keenam, aturan ini mengecualikan peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama islam di Provinsi Aceh, sesuai dengan kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Bersikap Bijak
Terkait SKB ini, saya memaknai bahwa pemerintah tengah menegaskan kembali tentang ruang kebebasan menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Hal yang dijamin oleh konstitusi. Bahwa negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap salah satu agama dengan apapun alasannya. Sebab mayoritas misalnya. Seperti tata aturan busana berciri khas agama pada satuan pendidikan di atas.
Jika hal ini dibiarkan sama artinya negara tengan memberikan peluang bagi sekolah atau daerah lain dengan mayoritas agama tertentu untuk melakukan hal yang sama. Misal sekolah di Bali dengan ciri khas agama Hindu. Atau di kawasan Indonesia Timur lainnya dengan ciri keagamaan Nasrani, dll.
Dan bila ini terjadi, saya kira preseden buruk terhadap eksistensi NKRI. Setiap pihak atau daerah akan semakin leluasa menampilkan identitasnya selaku mayoritas, melalui Peraturan Daerah atau naskah formal lainnya. Hal demikian sepertinya kita tengah membuka kran perpecahan.
Dikala daerah merasa lebih berani mengesampingkan perundagan di atasnya. Cukup banyak Peraturan Daerah terpaksa dicabut disebabkan bertentangan konstitusi di atasnya. Tentu saja tidak boleh terulang (lagi). Alih-alih soal agama menjadi kewenangan Pemerintah pusat.
Indonesia adalah kesatuan dari keragaman suku, agama, budaya yang berbeda. Dimana para pendiri bangsa kita -yang berbeda- telah berikrar, mufakat untuk menciptakan satu tatanan kebangsaan dalam bingkai NKRI. Pancasila sebagai dasanya dan Bhineka Tunggal Ika selaku pita pengikatnya.
Teladan Moderasi Beragama
Terkait SKB 3 Menter di atas, hal yang terlarang adalah memformalkan dalam bentuk peraturan tertulis. Seperti ketentuan atau larangan pada sekolah negeri di atas. Artinya di luar norma tersebut tentu saja diperkenankan. Katakanlah, kepala sekolah secara pribadi mengajak, mengingatkan kepada murid sekolahnya untuk melaksanakan ajaran agama secara benar, seperti berpakian sesuai ajaran syariat.
Dengan demikian insan pendidikan dan masyarakat umum lainnya tidak kehilangan ladang dakwah untuk menyampaikan pesan agama kepada peserta didik dengan cara yang bijak ( hikmah), secara baik (maudah hasanah) dan tidak memaksa apalagi dengan kekerasan atau ancaman.
Selain hal tersebut yang terpenting adalah memberikan keteladanan. Bahwa agama bukan sekedar ritual atau simbolik belaka. Tetapi harus tembus membekas pada perilakunya. Dengan senantiasa berbuat baik, bersikap adil, menebar kasih bagi sesama. Alih-alih agama sendiri bermakna kedamaian dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Berikan pula anak-anak kita pemahaman tentang keragaman agama. Bahwa umat agama lain pun berhak untuk melakukan ritual dan ajaran agamanya secara damai. Arahkan mereka untuk bersikap moderat tidak merasa paling benar sendiri. Hal yang berpotensi pada sikap ekstrim, radikal.
Agama selayaknya menjadi penebar rahmat, perakat persaudaraan bagi sesama manusia. Adalah satu keniscayaan bahwa Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbeda-beda untuk saling mengenal, menghargai. Wallahu’alam.***