Oleh Ilham Abdul Jabar
Pengajar Kelas Mahasiswa Pondok Pesantren Al Hikmah Mugarsari, Pengurus PC PMII Kota Tasikmalaya di Bidang Kajian Aswaja
Beredar luas komentar masyarakat mengenai Surat Edaran (SE) Kemenag No 05 Tahun 2022, tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.
Entah harus mulai dari mana saya uraikan. Yang pasti, kenyataannya tak sesuai dengan apa yang sekarang sedang beredar. Saya ingin coba uraikan satu per satu, dengan berbagai macam sudut keilmuan.
Saya mulai dari histori azan itu sendiri, apakah lafadz azan itu dari baginda Rasulullah ? Dan sejak kapan Azan dikumandangkan?
Salah satu kisahnya dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, berikut kutipan teks haditsnya :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلَوَاتِ وَلَيْسَ يُنَادِى بِهَا أَحَدٌ فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ فَقَالَ بَعْضُهُمُ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ قَرْنًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ ».
Suatu waktu ketika kaum muslimin tiba di Madinah, mereka berkumpul sembari menunggu waktu salat. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang bisa memberitahukan bahwa waktu salat telah masuk. Sehingga pada suatu hari mereka bermusyarawah untuk membahas persoalan tersebut.
Sebagian sahabat mengusulkan agar menggunakan lonceng sebagaimana yang digunakan oleh orang-orang Nasrani dan sebagian yang lain dengan tanduk sebagaimana digunakan oleh orang-orang Yahudi dalam upacara keagamaan mereka.
Namun sahabat Umar bin Khattab berkata “Alangkah baiknya kalian menjadikan seseorang yang bertugas untuk memanggil orang-orang salat”, kemudian Rasulullah SAW menyetujui usulan Umar dan berkata “wahai Bilal, berdirilah serta panggillah manusia untuk mendirikan salat!”
Selain itu dalam riwayat Abu Daud ada tambahan riwayat sebagai berikut :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَمِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَرَادَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الأَذَانِ أَشْيَاءَ لَمْ يَصْنَعْ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ فَأُرِىَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ الأَذَانَ فِى الْمَنَامِ فَأَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ « أَلْقِهِ عَلَى بِلاَلٍ »
Abdullah bin Zaid berkata: “Nabi SAW berkeinginan untuk mencari cara dalam memberitahukan waktu salat (azan), namun beliau belum juga menemukannya”.
Abdullah bin Zaid telah bermimpi mengenai kalimat-kalimat azan dalam tidurnya. Lalu dia mendatangi Nabi SAW untuk memberitahukan hal tersebut, kemudian Nabi SAW pun berkata “Ajarkanlah kata-kata itu kepada Bilal!”.
Di dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa pada saat Abdullah bin Zaid menceritakan mimpinya mengenai lafal-lafal azan itu kepada baginda Rasulullah, sahabat Umar bin Khattab pun mengakui hal yang sama bahwa beliau juga telah bermimpi dengan mimpi yang serupa dengan Abdullah bin Zaid.
Perlu diketahui bahwa, Azan, pertamakali disyari’atkan pada Tahun pertama Hijriyah -walau banyak riwayat yang berbeda, namun ini yang paling kuat-, dan berdasarkan hadits di atas, ternyata lafadz adzan itu bukan atas wahyu dari Allah SWT yang disampaikan kepada baginda Rasulullah.
Walau ada riwayat yang mengatakan itu wahyu Allah- Artinya apa ? Lafadz azan ini masuk kategori Hadits Takriri atas dasar mimpi Abdullah Bin Zaid yang disepakati Baginda Rasul dan hukumnya “Sunnah”, Catat ya “sunnah”.
Sementara dulu, belum ada speaker seperti pada saat ini. Makanya kenapa, Rasulullah menyuruh Sahabat Bilal Bin Rabah RA yang mengumandangkannya. Karena beliau salah satu sahabat yang suaranya lantang, sehingga azan bisa didengar seantero masyarakat Madinah.
Dan tempatnya pun di satu titik, tidak seperti sekarang, di setiap masjid walau berdekatan pasti azan dikumandangkan. Mungkin karena azan sebagai peringatan masuknya waktu salat, yang harus diulang ulang agar mereka yang lalai, segera melaksanakannya.
Kita lanjutkan membahas kedudukan surat edaran dari sudut pandang tata hukum Indonesia.
Peraturan Kementrian Dalam Negri no. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa, Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi “pemberitahuan, penjelasan dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.”
Mengingat isi surat edaran hanya berupa pemberitahun, maka, dengan sendirinya materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundangan-undangan.
Oleh karena itu, surat edaran hanya sebuah perintah pejabat tertentu kapada bawahannya/orang di bawah binaannya, Dan tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar, karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran.
Pejabat penerbit surat edaran tidak memerlukan dasar hukum, karena surat edaran merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan kewenangan bebas.
Namun demikian, surat edaran mempunyai derajat lebih tinggi dari surat biasa, karena memuat petunjuk atau penjelasan tentang hal-hal yang harus dilakukan berdasarkan peraturan yang ada. Surat edaran bersifat pemberitahuan, tidak ada sanksi karena bukan norma.
Jadi, apa yang harus dipermasalahkan?, toh SE Kemenag No 05 tahun 2022 sifatnya tidak mengikat ke luar dan tidak ada sanksi bagi yang tidak melakukannya, dilaksanakam atau tidak, ya sesuai situasi dan kondisi sekitar saja. “Gitu Aja Kok Repot”
Terakhir, yang ingin saya sampaikan, mengenai stateman kemenag yang dimanipulasi, bahwa -katanya- Gus Yaqut membandingkan azan dengan gonggongan anjing. Padahal Gus Yaqut hanya mengumpamakan tasybih suara speaker jika azan dikumandangkan dan suara gonggongan anjing yang sama-sama mengganggu minoritas.
“Misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara,” katanya.
Sebetulnya, jika kita memahami Ilmu Balagah (cabang ilmu Gramatika Bahasa Arab), dalam Ilmu Bayan (Cabang Ilmu Balagah) ada bab khusus membahas Tasybih (analogi), di sana disampaikan bahwa ada beberapa Rukun-Rukun Tasybih,
1. Musyabbah (sesuatu yang hendak diserupakan); 2. Musyabbah bih (sesuatu yang diserupai); 3. Wajah syabah (sifat yang terdapat pada kedua pihak itu); 4. Adatu tasybih (huruf atau kata yang penyerupaan).
Kita aplikasikan ke dalam stateman Gus Mentri ini, mana yang menjadi Musyabah, Musyabah Bih, Wajah Syabah dan Adatut Tasybih-nya. Di sini Musyabbah-nya “azan” Musyabbah bih-nya adalah “anjing” dan Wajah Syabah-nya adalah “suara keras yang mengganggu.”
Asumsi saya, polemik yang sekarang menjadi kontradiksi ada dalam Wajah Syabah-nya, di mana pendapat Gus Yaqut wajah Syabbah di antara keduanya adalah “suara yang mengganggu” dan ini tidak menjadi masalah.
Namun mereka yang tidak faham Ilmu Bayan, tidak bisa mencari Wajah Syabbah-nya. Akhirnya, yang muncul dalam benak mereka, Wajah Syabah dari Adzan Adalah “Lafadz azan” yang suci nan agung dan Wajah Syabah dari Anjing adalah “Sifat Najisnya” ini tentu tidak bisa dijadikan Tasybih. Makanya jadi timbul permasalahan baru.***