Oleh Maulana Janah
Dosen Sosiologi Fakultas Dakwah IAIC Cipasung. Magister Sosiologi Agama di UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2010. Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bidang Sosiologi dan Antropologi Agama dengan predikat cumlaude tahun 2020.
Ruang publik kehidupan beragama kita masih hingar bingar dengan sikap beragama yang saling menyerang, menyesatkan, dan ujungnya saling mengkafirkan.
Sepintas dalam kasus ini, beragama ‘belum’ bisa bergeser ke dalam persoalan pemberdayaan umat. Misalnya, dalam bentuk pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya.
Patut kita renungkan salah satu problem keberagamaan saat ini. Masih adanya pandangan dari sebagian agamawan yang menyatakan agama tidak mengurus permasalahan umat yang bersifat fisik, tetapi agama hanya mengurus aspek spiritual dari kehidupan manusia.
Pandangan di atas, cenderung dikotomi yang memisahkan urusan dunia dan urusan agama. Dalam konteks pembangunan, pandangan tersebut kurang relevan untuk dipakai sebagai pemikiran para pemimpin agama di masyarakat. Pemikiran seperti ini akan mengakibatkan agama di dunia akan dijauhi oleh umat manusia.
Oleh karena itu, keterlibatan tokoh agama dalam konteks pembangunan ekonomi menjadi relevan untuk hadir memberikan kontribusi nyata yang langsung dirasakan oleh umat manusia.
Energi dan nilai agama ditarik ke dalam ruang sosial untuk membangun kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks sekarang, tugas kaum agamawan tidak ‘hanya’ membina moral dan menanamkan prinsip etik tentang kehidupan semata. Tetapi semestinya kaum agamawan mampu memberdayakan masyarakat kearah yang lebih maju dan sejahtera.
Spirit Dagang
Islam memberikan panduan bahwa bekerja secara halal merupakan kewajiban bagi setiap pemeluknya. Bekerja untuk menjaga diri supaya tidak menjadi beban orang lain, bekerja untuk kebutuhan keluarga, serta bekerja untuk meringankan tetangga serta pada akhirnya bekerja untuk Ibadah.
Selanjutnya, konsep kemandirian, disiplin, dan gemar bekerja telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Dalam catatan sejarah, Ia memulai karir hidupnya pada awal abad ke-5 Masehi. Dan Ia mengajarkan semangat hidup dan etos kerja yang tinggi.
Misalnya, dalam mengemban misi kenabiannya, Nabi Muhammad tetap mengemban misi untuk melakukan pembebasan manusia dari ketertindasan, kemiskinan, dan kebodohan.
Oleh karena itu, di antara fokus dakwah nabi Muhammad pada tahap tersebut, yaitu menitikberatkan pada aspek pembangunan ekonomi melalui perdagangan.
Beliau melakukan perdagangan keliling dengan penuh dedikasi, ketekunan, kecerdasan, kejujuran (sidiq), dan kesetiaannya memegang amanah yang merupakan dasar etika orang modern.
Dari sifat-sifat tersebut, maka berbagai pinjaman komersial tersedia di kota Mekah yang membuka peluang kemitraan Nabi Muhammad SAW dengan para pemilik modal.
Khadijah adalah salah satu pemilik modal tersebut, ia menawarkan kemitraan berdasarkan bagi hasil (profit and loss sharing). Reputasi Nabi dalam dunia bisnis dikenal sebagai orang yang sukses.
Rahasia keberhasilan wirausaha Rasul adalah sifat jujur dalam melakukan hubungan dagang dengan para pelanggan.
Nabi Muhammad percaya bahwa kalau Ia jujur, setia dan profesional, maka orang kaya akan mempercayainya. Inilah dasar kepribadian dan etika wirausaha yang diletakkan olah Rasulullah kepada seluruh umatnya.
Dalam perilakunya, Nabi sering memperlihatkan rasa tanggung jawab dan integritas yang besar dalam berurusan dengan orang lain.
Spirit Kalvinisme
Dalam literatur ilmu sosial tercatat bahwa Bangsa Eropa memiliki etos kerja yang tinggi dalam hal pembangunan ekonomi. Hal ini diungkapkan oleh seorang ilmuan sosial Max Weber.
Ia menjelaskan bahwa perkembangan masyarakat ekonomi di Eropa karena didrorong oleh semangat agama kristen protestan.
Ide atau gagasan Weber tertuang dalam tulisan ”The Protestant Ethic and the Spririt of Capitalism”. Suatu gagasan yang muncul karena respons terhadap perkembangan kehidupan sosial pada masa itu.
Selanjutnya, Weber mengemukakan pendapatnya, bahwa kapitalisme matang dan lahir bukan disebabkan oleh keperluan bagi sistem ekonomi kapitalis.
Tetapi seolah-olah didorong oleh suatu kekuasaan yang kuat, yaitu oleh etika agama Protestan itu sendiri, khususnya kalvinisme, yang disebut dengan “Spririt of Capitalism.”
Gambaran di atas memberikan informasi bahwa masyarakat Eropa gemar bekerja dan punya semangat tinggi. Semangat mereka dalam bekerja bersumber dari spririt agama Protestan.
Spirit agama tersebut menjelma menjadi aktivitas sosial dan kerja nyata. Mereka berkeyakinan yang “saleh itu”, mereka yang gemar bekerja mencari kekayaan dan tidak hanya ‘berdiam diri’ di dalam rumah ibadah.
Selanjutnya, kasus serupa juga terjadi di negeri Sakura. Menurut seorang sosiolog Robert N. Bellah menjelaskan bahwa, apa kaitan yang terjadi antara agama Tokugawa dengan pembangunan ekonomi Jepang?, dan secara khusus Bellah juga mengatakan bagaimana sumbangan itu diwujudkan?.
Dalam analisisnya, kemajuan bangsa Jepang ternyata berawal dari semangat keagamaan yang menjelma menjadi etos kerja. Awal gerak gelombang industrialisasi di Jepang pada akhir abad ke-19 tidak dimulai dari langkah kaum industriawan, pengrajin, atau pedagang, melainkan oleh kelas samurai yang menjadikan agama Tokugawa sebagai spiritnya.
Selanjutnya, dengan memiliki banyak wiraswastawan unggul, kelas samurai inilah yang sesungguhnya membangun kembali masa kekayaan kekaisaran Jepang, dan meletakkan dasar-dasar modernisasi Jepang.
Itulah gambaran Bellah yang menghubungkan kemajuan Bangsa Jepang disebabkan peran dan keterlibatan agama dalam masyarakat Jepang.
Oleh karena itu, Bangsa Jepang sejak awal abad ke 19 mampu melahirkan bangsa dengan keunggulan sumber daya manusia (SDM). Mereka beridiri sejajar dengan bangsa-bangsa besar dan bangsa maju yang ada di dunia ini.
Dan faktanya masyarakat Jepang terkenal memiliki karakter dispilin tinggi, tekun serta pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantang zaman.
Pada akhirnya, beragama harus menjadi dasar bagi masyarakat untuk maju dan makmur. Nilai-nilai agama dijadikan sebagai sumber untuk menjadi pribadi yang memiliki keunggulan yang mampu berdaya saing tinggi.
Beragama tidak sebatas memperkuat dimensi kesalehan individu atau kesalehan personal, melainkan harus menjadi etos kerja sehingga menggambarkan sebuah bangunan keberagamaan yang memberdayakan dan bersudut pandang kesalehan sosial.***