OPINI

Sains Berdimensi Iman

×

Sains Berdimensi Iman

Sebarkan artikel ini

Oleh Maulana Janah
Dosen Sosiologi Fakultas Dakwah IAI Cipasung

Dunia Barat telah meletakan dasar sains dan ilmu pengetahuan yang segala sesuatunya bersumber pada akal manusia semata. Barat kurang mempertimbangkan nilai-nilai transendental dalam praktik sains dan ilmu pengetahuan.

Dalam pandangan barat, sains dan ilmu pengetahuan ‘hanya’ ilmu pengetahuan saja yang bersifat sekuler, netral, dan bebas nilai. Madzhab yang menganggap barat adalah segalanya dan merupakan sumber atau kiblat ilmu pengetahuan. Bermula dari ‘empirisme’ sebagai methodologi ilmiah yang dikembangkan oleh Roger Bacon (1214-1294) dan Francis Bacon (1561-1627).

Namun dalam literatur lain, munculnya kemajuan barat dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi dilatar belakangi oleh zaman kebangkitan kembali (renaissance) terhadap filsafat Yunani pada abad ke 14.

Berbeda dengan dunia barat, Islam sebagai agama yang berdasarkan segala sesuatunya pada wahyu. Lalu memiliki ciri khas tersendiri dalam masalah ilmu pengetahuan.

Islam merupakan agama yang sangat sempurna (syamil) mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, dalam hal ilmu pengetahuan, Islam memberikan petunjuk bahwa sumber ilmu adalah wahyu, bukan akal manusia semata.

Akal manusia hanyalah fasilitas yang diberikan Allah kepada manusia untuk berpikir dan menggali berbagai disiplin ilmu yang ada dalam Al-Quran yang tersurat dan alam semesta (alkaun) yang bersifat tersirat.

Karena itu, menurut Thoha Zabir, sumber ilmu pengetahun ada dua macam, yaitu wahyu (Alquran) serta alam semesta (wujud atau universum). Wahyu merupakan ayat-ayat Allah yang tersurat berupa kalam atau Firman Allah yang datang melalui malaikat jibril kepada Rasul SAW.

Istilah ini dikenal dengan sebutan ayat qauliyah. Sedangkan alam adalah segala isi dan karakteristiknya beserta segala hukumnya.

Selanjutnya terkait dengan sains, menurut beberapa literatur adalah istilah ‘ilmu pengetahuan’ yang dipakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan yang sistematik, objektif serta dapat diteliti kebenarannya.

Sains dan Kemajuan Material

Terspesialisasinya ilmu pengetahuan dan teknologi bisa membuat manusia semakin jauh dari nila-nilai keimanan. Kerusakan ekologi lingkungan, pemanasan global, tayangan asusila, senjata pemusnah masal, serta dampak penggunann negatif dari teknologi menyebabkan manusia semakin terasing.

Akibatnya dari kemajuan dalam bidang sains dan ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa sekarang, membuat manusia semakin mudah (instan) dalam melakukan berbagai pekerjaan. Misalnya, kemajuan dalam teknologi informasi telah mereduksi batas-batas jarak yang selama ini menjadi hambatan manusia.

Selain itu, kemajuan dalam teknologi transportasi semakin memperpendek jarak dan mempersingkat waktu yang digunakan manusia sehingga mobilitas manusia dalam bekerja semakin efektif dan efisien.

Disamping itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pun telah masuk dalam spesialisasi bidang-bidang kehidupan manusia yang lain. Misalnya, dunia kedokteran, antariksa, lingkungan hidup, teknik, dan lain sebagainya.

Namun, dalam dimensi spesialisasi tersebut, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membuat manusia semakin ‘jauh’ dari agama yang menyebabkan semakin serakah dan ganas. Keserakahan manusia tersebut akibat dari mempertuhankan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Karena itu, sangat ironis jika ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menjebak manusia semakin jauh dari nilai-nilai transendental. Seharusnya teknologi sebagai akibat dari majunya ilmu pengetahuan terintegrasi dengan keimanan kepada Tuhan. Sebab, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa dibarengi dengan keimanan mengakibatkan kesengsaraan batin manusia yang mendalam.

Memang, secara material banyak kemajuan diakibatkan dari kemajuan teknologi ini. Tetapi dalam kondisi yang lain, realitas kehidupan manusia akibat dari kemajuan itu membuat manusia semakin jauh dari nilai-nilai trandensental. Dan bahkan semakin tak bermoral yang mengakibatkan munculnya bencana kemanusiaan yang dahsyat diseluruh penjuru dunia.

Sains dan Keimanan

Sebagai suatu gambaran, agar sains dan keimanan terintegrasi secara sempurna, bisa dilihat dari ilustrasi contoh berikut ini. Sains telah menjangkau jagat kosmologi dan melahirkan berbagai teori ilmiah dalam bidang-bidang dan spesialisasi ilmu pengetahuan.

Teori big-bang misalnya, menjelaskan bahwa alam semesta tercipta dari sebuah dentuman yang besar dan super dahsyat. Lalu kemudian munculah jagat raya ini, termasuk di dalamnya muncul pula apa yang disebut dengan tata surya.

Banyak para pakar yang menjelaskan bahwa jika mencermati teori ini, maka akan banyak pertanyaan yang muncul, mulai dari pertanyaan siapa yang menciptakan dentuman besar yang super dahsyat itu?, dan seberapa besar energi yang diperlukan guna menggerakan proses tersebut?.

Dari teori big bang itu membuktikan bahwa alam ini berawal dari ketiadaan dan tidak muncul begitu saja. Untuk menjawab dua pertanyaan ini, agama dan keimanan menemukan relevansinya memberikan argumen dan jawaban yang benar.

Selanjutnya, pada titik inilah manusia (termasuk para ilmuan) dengan segala kekurangan dan kelebihannya memiliki banyak keterbatasan untuk mengungkap dua pertanyaan tersebut.

Sebab, pada akhirnya keimanan tidak selamanya bertentangan dengan sains dan ilmu pengetahuan, justru keimanan menjadi bingkai bagi manusia untuk mengatakan bahwa semuanya itu ada yang menciptakan. ‘Dia (Allah) Pencipta langit dan bumi…” (QS.6:101).

Dengan demikian, agar sains dapat bermanfaat bagi lahir dan batin manusia, maka perlu diintegrasikan dengan nilai keimanan yang berdampak kepada kehidupan yang universal.

Integrasi antara iman, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bertujuan agar ilmu pengetahuan sebagai hasil dari proses penelitian. Melalui sejumlah metode ilmiah tidak melahirkan dan menyisakan tumbal-tumbal kemanusiaan, tetapi selaras dengan nilai-nilai Ilahiyah.

Sains tanpa keimanan mengancam nilai-nilai kemanusiaan, sains tanpa keimanan membuat dunia semakin hancur dan pada akhirnya menjadi malapetaka. Sains dan keimanan seharusnya berjalan seirama dan harus terpadu agar dapat bernilai lebih dan akhirnya mengarahkan manusia kepada keimanan yang hakiki.

Akhirnya, sains yang tidak ber-Tuhan atau hanya mengandalkan dan mempertuhankan logika, hanya akan menjadi ancaman dan mengoyak-ngoyak nilai kemanusian di muka bumi ini.

Karena itulah, peran agama sangat penting dalam memberikan petunjuk agar manusia tidak lupa diri dan tetap berada pada jalur seorang hamba yang memiliki tugas untuk mengabdi kepada sang Pencipta.

Sains dan teknologi hanya menjadi alat (bukan tujuan) untuk kemajuan, kesejahteraan, kemartabatan manusia. Pada akhirnya supaya terhindar dari penyakit “busung” spiritual.***