Oleh Maulana Janah
Dosen Sosiologi Fakultas Dakwah IAIC Cipasung. Magister Sosiologi Agama (Studi Masyarakat Islam) di UIN Sunan Gunung Djati Bandung tahun 2010. Doktor dalam bidang Sosiologi dan Antropologi Agama dengan predikat cumlaude pada tahun 2020 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hampir setahun, hajat demokrasi pemilihan kepala daerah serentak 2020 berlalu. Pemilihan yang digelar pada tanggal 9 Desember 2020 ini menyertakan pemilihan kepala daerah di delapan daerah administrasi.
Yang menarik, dari kedelapan kepala daerah tersebut, keterwakilan perempuan dalam suksesi kepala daerah belum signifikan.
Delapan daerah di Jawa Barat yang telah mengikuti Pilkada 2020, yakni Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, Karawang, Indramayu, Tasikmalaya, Pangandaran, dan Kota Depok.
Lima daerah seluruh pasangan calon dari kaum laki-laki dan tiga daerah ada keterlibatan pasangan calon dari kaum perempuan. Ketiga daerah yang mengusung perempuan sebagai calon kepala daerahnya, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Bandung.
Angka keterlibatan kaum perempuan dalam pemilihan kepada daerah pada tahun 2020 di Jawa Barat sekitar 37,5% dari total delapan daerah yang mengadakan Pilkada. Sedangkan, calon perempuan yang memenangkan Pilkada tersebut hanya di dua daerah, yaitu di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Karawang.
Artinya, hanya 25% keterwakilan perempuan yang menjadi kepala daerah di Jawa Barat pada pemilihan kepala daerah tahun 2020.
Data di atas menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam Pilkada masih banyak kendala dan problematik. Adanya kendala internal dalam diri kaum perempuan seperti keinginan (will), kepercayaan (trust), dan keyakinan (belief). Selanjutnya kendala lingkungan kebudayaan yang membentuk persepsi masyarakat terhadap kaum perempuan yang menjadi calon dalam proses Pilkada.
Masyarakat di delapan daerah tersebut telah menentukan pemimpinnya yang terbaik menurut pendapat mereka sendiri. Para pemilih yang tersebar di setiap kabupaten memiliki persepsi yang berbeda-beda tentang pemimpin yang dipilihnya.
Karenanya, dalam urusan memilih pemimpin atau menjadi seorang calon pemimpin berbanding lurus dengan tradisi yang mereka yakini.
Sebagai sebuah refleksi, sangat menarik apabila melihat kondisi sosial budaya masyarakat Sunda yang dihubungkan dengan minimnya keterwakilan kaum perempuan untuk menjadi calon pemimpin daerah. Hal ini dapat dilihat pada pemilihan kepala daerah tahun 2020.
Tulisan ini ingin melihat pola pikir masyarakat Jawa Barat terkait posisi calon pemimpin perempuan dalam perhelatan Pilkada 2020.
Ada banyak persoalan yang menyebabkan rendahnya keterwakilan calon perempuan dalam pemilihan kepala daerah. Mulai dari persoalan qodrat perempuan dan peran sosial perempuan. Secara qodrati perempuan diciptakan sebagai manusia yang memiliki perbedaan fisik dengan laki-laki.
Namun secara peran sosial dan kebudayaan, perempuan memiliki banyak kesamaan dengan laki-laki. Karena itu, salah satu kajian penting yang patut dikaji dan dicari jawabannya yaitu terkait dengan perilaku atau tindakan pemilih.
Perilaku atau tindakan pemilih tersebut berkaitan dengan penentuan keputusan dalam memilih calon, maju menjadi calon, dan memilih partai politik tertentu. Terkait dengan tindakan pemilih tersebut, faktor apakah yang menjadi dasar atau ukuran seseorang mengambil keputusan memilih dan menjadi calon pemimpin?.
Ada dua faktor penting dalam menjawab pertanyaan ini. Pertama, setiap pemilih memiliki nilai-nilai yang diyakini oleh suatu kebutuhan tertentu. Sikap dan tingkah laku politik seseorang ditentukan oleh apa yang terkandung di dalam dirinya sendiri, seperti idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan, dan kehendak hatinya.
Kedua, setiap pemilih memiliki keterkaitan dengan suasana lingkungan kebudayaan, kehidupan beragama, kondisi sosial politik, dan ekonomi.
Berdasarkan jawaban sederhana di atas, terlihat bahwa masyarakat memiliki dasar dan anggapan tertentu pada saat pemilihan kepala daerah. Anggapan itu terkait dengan suasana lingkungan kebudayaan yang ada.
Misalnya, terkait rendahnya keterwakilan perempuan dalam pemilihan kepala daerah, disebabkan masih munculnya pola pikir masyarakat yang menganggap kaum laki-laki lebih ”utama”. Pola pikir ini, menganggap bahwa laki-laki merupakan pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam berbagai peran sosial.
Sebagai contoh, perempuan dalam tradisi Sunda seringkali diberi istilah ”dulang tinande”. Istilah ini menggambarkan bahwa sifat perempuan yang senantiasa turut dan patuh pada keinginan suami. Istilah tersebut dapat dilihat dalam kamus bahasa sunda LBSS (2007), ”dulang tinande” artinya ”awewe mah biasana kumaha kahayang lalaki”.
Apabila dianalisis, istilah ini sangat melekat dalam alam pikiran masyarakat Sunda. Sisa-sisa tradisi tersebut dapat dilihat dan dirasakan dalam pergaulan masyarakat, terutama pada masyarakat pedesaan di Jawa Barat.
Sebagian masyarakat Sunda, masih memandang dan menempatkan perempuan dalam dominasi kaum laki-laki. Diperkuat pula oleh pandangan sebagian perempuan yang menganggap sepanjang masih ada kaum laki-laki merekalah yang layak menjadi pemimpin.
Kaum perempuan masih belum bisa melepaskan diri dari stigma tersebut. Artinya mereka masih belum bebas dan mandiri dalam mengambil keputusan untuk memilih maupun untuk maju menjadi calon pemimpin daerah.
Masyarakat masih terjebak pada tradisi yang dianggap ”sakral” dalam lingkungannya, bahkan ada sebagian masyarakat yang memandang tradisi itu sebagai bagian dari ”kesakralan agama”.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa agar terjadi proses perubahan dalam masyarakat, perlu upaya pendidikan berdemokrasi di dalam lingkungan keluarga. Sebab, keluarga merupakan miniatur dari kehidupan masyarakat.
Dalam satu keluarga keputusan memilih calon atau menjadi calon kepala daerah sangat bergantung pada peran, pemikiran, dan restu sang suami. Inilah perempuan yang masih terjebak dalam stigma tradisi yang ada. Apakah pada tahun 2024 nanti, paradigma seperti itu akan bisa berubah?.***