OPINI

Akar (Resensi Buku “Sepenggal Perjalanan Hidup Santri: Prof. Dr. KH. Syihabuddin Qalyubi. Lc., M.Ag)

×

Akar (Resensi Buku “Sepenggal Perjalanan Hidup Santri: Prof. Dr. KH. Syihabuddin Qalyubi. Lc., M.Ag)

Sebarkan artikel ini

Oleh Fauz Noor

seperti akar
engkau memahami cinta
tidak melalui kata-kata
tetapi pada keheningan
yang bertenaga
_________________ (Rozi Kembara)

Di beberapa agama pohon menjadi simbol spiritual. Dalam Islam, kita mengenal shidrah (pohon) almuntaha. Dalam Kristiani, pohon cemara. Mereka yang menganut Budha, mengenal simbol pohon Bodhi. Bahkan dalam beberapa kebudayaan pun, simbol pohon kerap menjadi acuan, sebagai misal “pohon beringin” yang menyimbolkan persatuan Indonesia.

Pohon adalah makhluk yang tak punya horizontal, derapnya adalah vertikal, lakunya menuju ketinggian. Ruangnya istiqomah dalam batas tertentu, lalu bergerak menuju ketinggian. Seolah, ia hendak menuju langit, lalu menyapa Dia yang berada di “tempat” Maha Tinggi.

Setiap pohon pasti punya akar. Apapun pohon itu. Tak semua pohon punya buah. Tak semua pohon punya bunga. Bukankah primadona dalam pohon Jati adalah batangnya? Bukankah daun yang kaya klorofil yang kita butuhkan dalam pohon Kangkung? Setiap pohon punya wilayah kemanfaatannya masing-masing. Tetapi, setiap pohon mesti punya “bakal”, dan ketika waktu menyertainya dalam ritme tertentu, segera menjadi akar. Dan akar adalah keheningan yang bertenaga.

Akar dari pribadi Bapak Syihabuddin Qalyubi adalah santri. Ia seorang santri. Sekalipun pikuk dunia telah memberikan kehormatan-kehormatan menterang sehingga namanya menjadi Prof. Dr. KH. Syihabuddin Qalyubi, Lc., M.Ag, beliau menulis judul bukunya ini: Sepenggal Perjalanan Hidup Santri. Ia bangga menjadi santri. Ia tak lupa akar.

Santri adalah akar. Saya teringat Acep Zamzam Noor, menurutnya “sastra santri” tak harus karya dari seseorang yang pernah tinggal di pesantren, tetapi karya yang secara subtansi membawa nilai-nilai santri. Bukankah sekarang juga banyak “santri tanpa kobong”? Seperti santri-santri yang setia mengikuti pengajian Ihya’ yang diampu oleh KH. Ulil Abshar Abdala. Bagi saya, dewasa ini kita harus melihat santri sebagai nilai, dan bukan sebagai identitas. Dan tentu kita semua mengelus dada, ketika identitas santri, tak jarang identitas pesantren, lalu “dijual” dalam perhelatan politik, hanya demi keuntungan pragmatis. Santri adalah akar, keheningan yang bertenaga.

Prof. Syihab, tentu bukan “santri tanpa kobong”. Ia benar-benar nyantri. Dalam perjalanan heningnya, Prof. Syihab pernah tinggal di Pesantren Fauzan, belajar kepada KH. Ahmad Tajuddin (kakek saya). Ia menamatkan pendidikan guru agama di PGAN Sukamanah, berbarengan itu, nyantri di Pesantren Sukahideng. Melanjutkan studi ke IAIN Sunan Kalijaga, dan nyantri di Pesantren Krapyak dibawah asuhan KH. Ali Maksum. Bukan tanpa alasan, karena kecerdasannya, ia pun menikahi putri KH. A. Wahab Muhsin (allahu yarham) sesepuh pondok Pesantren Sukahideng – Hj. Ai Titim Chotimah, S.Ag. Dan karena himmah belajarnya begitu tinggi, ia sampai menimba ilmu di al-Azhar Kairo. Menyelesaikan strata tiga, sampai akhirnya menyandang Guru Besar. Sungguh, keheningan yang bertenaga.

Akar itu tumbuh. Seiring tempaan waktu. Terpaan badai. Guncangan topan. Ia terus tumbuh. Batangnya semakin kokoh. Kuat dan liat. Ia pun telah haturkan buah. Ratusan artikel koran telah ia tulis, sebagaimana sebagiannya bisa kita baca dalam buku ini. Puluhan jurnal ilmiah telah ia terakan bagi dunia akademis, sebagiannya juga bisa kita nikmati dalam buku ini. Ia memahami cinta tidak melalui kata-kata. Ia pribadi yang tak banyak omong. Karena semakin banyak omong akan semakin banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Ia pribadi yang asyik bercinta dengan kerja.

Dalam usia 68 tahun, ia meluncurkan buku. Berisi beberapa tulisan kesan-kesan dari rekannya, sejawatnya, murid-muridnya, bahkan anaknya. Dari buku ini kita akan belajar bahwa keheningan yang bertenenaga tak akan menghasilkan yang sia-sia, tapi jutru akan membuat pukau manusia.

Selamat ulang tahun, Prof. Barakallah. Sehat senantiasa. Semoga.***