Dr. Erlan Suwarlan, S.IP., M.I.Pol.
(Dosen FISIP Universitas Galuh)
Dalam tulisan sebelumnya (30/08/2020) penulis sempat menyinggung soal desentralisasi partai politik. Hal tersebut muncul dengan serta-merta ketika melihat sebuah fenomena yang terjadi dalam kontestasi pilkada Kabupaten Tasikmalaya, dimana Ketua Dewan Pengurus Cabang Partai Kebangkitan Bangsa sebagai kader tidak mendapatkan “jimat” Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk mencalonkan dirinya sebagai pasangan calon.
Meski dalam hal ini jatuhnya “jimat” ke pihak lain juga tidak dapat dikatakan salah, sebab regulasi memberi ruang hal seperti itu (selalu) terjadi. Namun hal tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah hal yang berulang dalam arti terjadi di banyak tempat. Tentu saja banyak variabel yang menjadi penyebabnya, tidak hanya regulasi yang memberi atribusi kewenangan kepada DPP partai politik, melainkan dalam tubuh parpol pun masih diselimuti sejumlah persoalan.
Dalam hal ini penulis hanya akan menyampaikan tiga persoalan utama dalam tubuh partai politik selama ini misalnya, pertama, mandegnya kaderisasi/regenerasi. Sejatinya partai politik adalah wadah sekaligus sebagai training ground lahirnya para pemimpin pada setiap levelnya. Pada sisi ini (terutama di daerah) tidak jarang parpol bingung, tidak percaya diri bahkan hanya mampu “menjual perahu” bagi calon yang memiliki kemampuan finansial. Dengan kata lain menjadi “spesialis rental perahu”. Ini yang kontraproduktif dengan hakikat eksistensinya.
Kedua, kemandirian pendanaan. Dalam soal pendanaan misalnya berapa banyak parpol yang iuran anggotanya bisa berjalan? Soal kemandirian pendanaan ini tentu berkaitan pula dengan persoalan yang pertama. Dalam bayangan ideal penulis, sesungguhnya parpol-lah yang harus mencari dan membiayai calon terbaik yang hendak diusung, baik yang berasal dari parpol itu sendiri maupun membuka ruang bagi figur non parpol. Keduanya diposisikan secara adil, objektif dan profesional oleh partai politik. Pada sisi ini parpol memfasilitasi dengan baik lahirnya pemimpin yang dicintai dan mencintai serta mampu mewujudkan pemerintahan yang efektif dan mensejahterakan.
Tidak mudah, namun bukan hal yang mustahil. Sangat miris jika sebuah kontestasi pilkada yang notabene menggunakan uang rakyat yang bersumber dari APBN/D hanya menghasilkan figur yang terjerat kasus korupsi atau kasus lainnya.
Ketiga, fungsi parpol tidak berjalan. Kritik terhadap fungsi parpol yang tidak mampu secara masif memainkan fungsinya bukan hal baru. Di Amerika saja sudah berlangsung sejak dekade tahun 70-an. Saya kira demikian pula yang terjadi sampai saat ini di tanah air.
Tiga persoalan utama ini perlu segera dibenahi agar tidak semakin menegasikan eksistensi partai politik, pada saat terdapat pesaing barunya yang bernama calon perseorangan. Juga sebagai jawaban atas pertanyaan, “rek kitu wae parpol teh”?
Relasi antara Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), dan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah (DPC/D) dalam konteks pilkada sangat lekat. Partai bisa menempatkan orang pusat untuk ditempatkan di daerah atau sebaliknya menempatkan kadernya di daerah, yang seringkali melahirkan praktik “Belanja Jimat” ke Jakarta.
Semua bergantung kalkulasi politik dalam dinamika yang terjadi di daerah masing-masing. Persepsi dan kepentingan politik dalam menentukan siapa yang hendak dicalonkan bisa sama bisa berbeda. Jika persepsinya sama tentu tidak menjadi persoalan. Partai bisa semakin solid namun belum pula menjamin kemenangan. Hal yang menarik adalah ketika salah satu atau bahkan semuanya berbeda. Pada sisi inilah seringkali terjadi konflik internal parpol bahkan terjadi berkepanjangan sampai proses peradilan.
Strata organisasi partai dapat dimaknai sebagai jenjang karir politik kader. Bisa juga hal tersebut pada level eksekutif, misalnya suksesnya Pak Joko Widodo dalam karir politiknya yang dimulai dari Walikota, Gubernur, dan menjadi Presiden ini adalah fenomena unik dan menarik ketika bicara mengenai jenjang karir politik.
Meski dalam pikiran bebas penulis bahwa suksesnya puncak karir tersebut sejatinya terlebih dahulu menyelesaikan periode kepemimpinannya pada levelnya masing-masing. Jika tidak, dapat dipersepsikan ada janji yang belum dituntaskan. Akan berbeda cerita ketika semuanya janji politiknya dapat ditunaikan, dengan demikian akan terlihat lebih elok.
Jenjang karir seperti itu tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pada siapa pun, bahkan perlu didorong/ditradisikan oleh partai politik. Hal tersebut, selain sebagai refresentasi kematangan kader atas sejumlah dedikasi dan prestasinya juga guna lebih menguatkan kepercayaan terhadap partai politik.
Secara akademis, literatur atau pun riset yang menjelaskan soal desentralisasi parta politik dapat dikatakan masih relatif terbatas, paling tidak masih terdengar sayup-sayup. Penulis termasuk yang berpikir bahwa wacana ini perlu disuarakan ke publik sebagai sebuah diskursus untuk mencari format terbaik dalam membangun partai politik sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi saat ini.
Lagi-lagi penulis ingin menyampaikan bahwa, “sejelek apa pun partai politik, kita tidak bisa anti terhadap partai Politik”. Ia adalah sebuah keniscayaan sebagai salah satu pilar demokrasi. Untuk tidak membenci atau bahkan anti, maka perlu ikhtiar dari semua pihak sesuai porsinya masing-masing. Salah satu alternatifnya adalah melalui perbaikan regulasi.
Sentralisasi dalam tubuh partai politik selama ini, khususnya dalam pencalonan boleh jadi untuk memastikan soliditas dan rentang kendali dalam hirarki organisasi. Dapat pula dipersepsikan bahwa hal tersebut adalah sebagai bukti masih rendahnya kepercayaan elit pusat terhadap kader-kadernya di daerah untuk mengelaborasi segenap potensi yang ada.
Banyak fakta terjadi sebagai efek dari pertentangan struktural organisasi bisa menjadikan kader parpol yang selama ini loyal dan berdedikasi tinggi ter/digeser oleh orang baru atau dianggap baru dengan latar belakang apapun. Jika hal seperti ini terus-terusan terjadi, maka bisa membuat kaderisasi/regenerasi dalam tubuh partai politik menjadi “cacag nangkaeun”.
Alih-alih mampu menginternalisasi ideologi, platform, visi, misi, program partai ke khalayak malah terjerembab terus dalam kubangan konflik internal yang menyita energi. Partai ambruk, fungsi partai mandeg, kompetisi kalah. Pada titik ini, perlu manajemen konflik yang diakomodasi menjadi regulasi yang memberi kepercayaan pada struktur di daerah. Sebab semua persoalan terjadi karena regulasi, maka solusinya adalah perbaikan regulasi juga.
Sentralisasi atau desentralisasi adalah pilihan, secara akademis keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Saat ini pilihan tersebut otoritasnya ada pada elit parpol di tingkat pusat. Ketika desentralisasi ditempatkan dalam konteks partai politik, penulis hendak menarik relevansinya dengan desentralisasi dan demokratisasi yang notabene sebagai salah satu agenda reformasi.
Pikiran sederhananya jika desentralisasi diberikan kepada pengurus partai pada tingkat daerah untuk menentukan calon pada setiap levelnya akan jauh lebih relevan dengan agenda reformasi nasional. Pertanyaannya apakah elite parpol pusat rela atau tidak untuk melegalisasinya dalam produk kebijakan? Memberi ruang dan kesempatan kepada struktur di bawahnya adalah pilihan yang patut dipertimbangkan mengikuti dinamika pembangunan desentralisasi dan demokratisasi di daerah.
Wacana pemilu yang hendak dipisah antara pemilu nasional dan pemilu lokal yang sempat muncul dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu, berpotensi memberi ruang dan kesempatan terjadinya desentralisasi dalam tubuh partai politik. Saya kira ini cukup logis. Logika sederhananya adalah bahwa yang tahu daerah, ya daerah. Jarak dengan struktur, kultur, basis konstituen juga daerah lebih dekat ketimbang pusat. Elite pusat tidak perlu ragu memberi kesempatan dan kepercayaan kepada struktur di daerah sebagai bagian reformasi dalam tubuh partai politik yang pararel juga dengan reformasi politik-pemerintahan nasional.
Hal lainnya yang tak kalah penting, penulis juga hendak menarik benang merah pilkada dengan logika dalam sistem pemerintahan saat ini yaitu sistem presidensial. Dua sistem yang populer adalah sistem presidensial yang lahir di Amerika dan sistem parlementer yang lahir di Inggris. Keduanya memiliki sejarah masing-masing dan logika masing-masing. Banyak negara yang mengadopsi dari kedua sistem ini termasuk Indonesia saat ini, namun penulis tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus menelan bulat-bulat dari sistem tersebut, itu hal yang tidak mungkin sebab setiap negara punya latar belakang sejarah, kepentingan, potensi dan permasalahan yang berbeda.
Jika kita mengadopsi salah satunya, maka bagaimana konsep tersebut “di-Indonesia-kan”? Salah satu kesepakatan dasar amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah, ”mempertegas sistem presidensil”. Salah satu logika dalam sistem presidensial adalah tidak adanya “presidensial treshlod”, maka hal ini perlu konsisten pula diterapkan baik pada tingkat pusat maupun daerah.
Jika diletakkan pada konteks pilkada, maka tidak perlu ada lagi persyaratan jumlah minimal kursi, sehingga semua parpol bisa mengajukan calonnya masing-masing. Tiket itu pun mesti diimbangi oleh kemampuan semua parpol dalam semua aspeknya, paling tidak tiga persoalan utama yang disampaikan sebelumnya dapat diselesaikan dengan baik.
Akhir kata, menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini apakah desentralisasi partai politik itu mungkin? Hipotesis penulis adalah: MUNGKIN dan bukan hal yang tabu!!!***