Etalase berbagai produk hadir di setiap sudut mal. Berbagai promo dan potongan harga bisa menggoda orang untuk berbelanja. Godaan konsumerisme itu bernama mal.
Tidak bisa dipungkiri, mal selalu menghadirkan berbagai produk baru. Sejumlah rupiah ataupun menggesek kartu kredit dari dompet anda, barang tinggal dibawa pulang. Godaan berbelanja selalu hadir terutama bagi pengunjung yang tadinya sekadar window shopping, malah kebablasan jadi ngeborong belanjaan.
Pada akhirnya, konsumerisme pun mulai menggerus karakter produktif warga Tasikmalaya. Hal ini perlu diwaspadai, karena dapat membuat keuangan keluarga ataupun pribadi jebol karena tergiur dengan berbagai tawaran.
Menurut Pengamat Sosial Tasikmalaya, Asep M. Tamam kehadiran banyak mal memang menunjukkan bahwa Tasik merupakan kota besar.
Menjadi kota yg dituju oleh warga Ciamis, Banjar, Garut adalah kebanggaan tersendiri bagi Kota Tasik.Namun di sisi lain, menguntungkan pihak lain serta mematikan pedagang tradisional.
“Dampak negatifnya membangun jiwa konsumerisme warga Tasik, menciptakan inflasi pada momen-momen tertentu, menjadi pusat pertemuan kaum gays, lesbi dll. Maka dari itu, keberadaan terlalu banyak mal perlu mendapatkan perhatian serius,” katanya.
Kemajuan di bidang ekonomi, lanjut dia, infrastruktur dan citra kota besar harus diimbangi dengan kemajuan pembangunan rohani yang perannya jauh lebih penting. Pemerintah seharusnya fokus untuk meningkatkan ekonomi rakyat. Apalagi tugas meningkatkan kesejahteraan masyarakat bawah dan menekan jumlah penganggur dan warga miskin.
“Pemberdayaan warga miskin dan upaya peningkatan taraf hidup mereka adalah amanat untuk pemrintah kota, bukan semata utk mmbangun kemegahn fisik kota. Jangan sampai identitas Tasik sebagai kota santri berubah menjadi Tasik kota mal” kata Asep menutup pembicaraan. (KP-11)