Oleh Kifayati R. Dewi
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor
Sejarah pengemasan barang sudah setua peradaban manusia. Selama berabad-abad, fungsi kemasan sebatas melindungi barang dan mempermudah manusia dalam membawanya. Saat ini, fungsi kemasan sudah berkembang menjadi empat fungsi dasar yakni untuk mewadahi (containment), melindungi dari kerusakan eksternal (protection), memberikan kenyamanan dalam penggunaan (convenience) dan komunikasi (communication) terkait dengan regulasi pelabelan dan promosi.
Penambahan nilai fungsional dan peran kemasan dalam pemasaran mulai diakui sebagai salah satu kekuatan utama dalam persaingan pasar.
Secara umum kemasan untuk produk pangan terbagi menjadi empat jenis berdasarkan bahan bakunya yakni kemasan gelas, kertas, logam dan plastik. Yang paling banyak digunakan saat ini adalah kemasan plastik, penggunaannya di Indonesia sudah mencapai lebih dari 50% dibandingkan dengan bahan kemasan lain.
Keunggulan plastik dibandingkan bahan kemasan lainnya yaitu kemudahan untuk dicetak dan dibentuk, ringan (berat jenis rendah), ketahanan terhadap benturan (impact) yang bagus, bersifat fleksibel (dapat dibuat lentur ataupun kaku) dan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi beragam sifat (misalnya dibuat tahan panas dengan menambah silikon dioksida atau ditambahkan senyawa antimikroba pada polimernya) sehingga meningkatkan daya guna kemasan plastik.
Namun, meningkatnya penggunaan kemasan plastik seiring dengan kontribusinya terhadap peningkatan masalah sampah.
Persoalan yang diakibatkan oleh tidak tertanganinya masalah sampah plastik kian mengkhawatirkan.
Berdasarkan laporan International Coastal Cleanup (ICC) pada tahun 2019, pembungkus makanan, sedotan, botol minum plastik dan kantong plastik kresek termasuk ke dalam 10 jenis sampah terbanyak di dunia. Di Kota Tasikmalaya sendiri, menurut data BPS tahun 2019 timbulan sampah per hari mencapai 313.956 kg, dengan jumlah penduduk 713.537 jiwa, berarti setiap orang menghasilkan sampah sekitar 0,45 kg per hari.
Sampah didominasi oleh sisa makanan (48%), sedangkan sampah plastik mencapai 1,89%. Meskipun dari angka terlihat cukup kecil, namun sampah plastik densitasnya cukup ringan dibandingkan sampah organik sehingga dengan berat yang sama bisa saja volumenya lebih besar, dan tidak seperti sampah organik, plastik sangat sulit diuraikan secara alami. Plastik sangat berpotensi mencemari lingkungan apabila tidak tertangani dengan baik.
Beberapa saat lalu, tepatnya 2 Maret 2020, Aksi Serentak Gerakan Menimbang Sampah untuk Sedekah yang dilaksanakan di sepanjang Taman Kota dan Jalan HZ Mustofa Kota Tasikmalaya berhasil mengumpulkan sekitar 4 kuintal sampah daur ulang. Kegiatan tersebut meliputi aksi memungut sampah dan merazia penggunaan tas kresek yang selanjutnya diganti dengan goodie bag. Tujuannya untuk mengajak dan memotivasi masyarakat Kota Tasikmalaya untuk bisa mengurangi penggunaan kantong plastik yang tentunya akan berdampak pada penekanan volume sampah plastik.
Selain penggunaan goodie bag, kemasan plastik ramah lingkungan (plastik biodegradable) muncul sebagai solusi alternatif.
Berdasarkan pengalaman penulis, hampir seluruh minimarket dan supermarket di Kota Tasikmalaya sudah menggunakan kantong plastik kresek dengan klaim ‘dapat hancur dengan sendirinya’. Plastik kresek ini diklaim dapat terurai secara alami dalam waktu singkat, sehingga tidak mencemari lingkungan. Beberapa orang menyebut jenis plastik ini sebagai biodegradable.
Menurut Kuorwel et al. (2011), istilah biodegradable digunakan untuk mendeskripsikan bahan-bahan yang dapat terdegradasi oleh aktifitas enzimatik organisme hidup seperti bakteri, ragi, jamur dan produk akhir dari proses degradasinya yaitu karbon dioksida, air dan biomassa dalam kondisi aerobik dan hidrokarbon, metana dan biomassa dalam kondisi anaerobik.
Namun bukti penelitian yang dilakukan oleh Napper dan Thompson di University of Plymouth, Inggris, menunjukan bahwa plastik ‘biodegradable’ ini tidak terurai dan masih utuh seperti sedia kala setelah tiga tahun dibiarkan di alam. Laporan lain yang dirilis oleh UN Environment pada tahun 2015 menyebutkan bahwa plastik biodegradable hanya dapat hancur secara sempurna pada kondisi lingkungan industrial composter (misalnya pada suhu diatas 50°C), bukan di lautan dan di alam bebas.
Jenis plastik lain, oxo-degradable, yaitu plastik yang ditambah senyawa agar dapat hancur saat terkena oksigen dalam waktu singkat justru akan menghasilkan plastik-plastik potongan kecil yang disebut mikroplastik yang bentuknya sangat kecil dan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Plastik ini sangat berbahaya karena bisa dengan mudahnya terhirup atau masuk ke makanan dan minuman kita.
Solusi alternatif lain yang ditawarkan untuk membantu mengurangi masalah sampah plastik adalah penggunaan edible plastic, atau plastik yang dapat dimakan. David Christian merupakan anak bangsa pencetus Evoware, sebuah usaha rintisan yang didirikan pada April 2016 dan berhasil menciptakan dua produk, yakni Seaweed Based Packaging yang bisa dipakai untuk menyajikan kopi, mi instan dan makanan lainnya serta Ello Jello, yaitu gelas plastik sekali pakai yang bisa dimakan karena berbahan dasar rumput laut.
Dilansir dari Kontan.co.id, harga kemasan Evoware masih tergolong cukup tinggi apabila dibandingkan kemasan plastik lainnya karena keterbatasan sumber daya untuk produksi dan masih minimnya minat pengusaha dalam negeri untuk menggunakan jenis kemasan ini.
Sampai saat ini, terlihat bahwa berbagai inovasi dan upaya yang ditawarkan masih belum mampu mengatasi persoalan-persoalan yang diakibatkan penggunaan kemasan plastik yang berlebihan. Yang terpenting dan yang paling mudah dilakukan adalah kontribusi dari kita sendiri, dengan meminimalkan penggunaan kemasan plastik sekali pakai dan tidak lelah mengedukasi orang-orang terdekat kita agar lebih peduli. ***