Oleh Roni Mardyana
Ketua PC IMM Kabupaten Tasikmalaya
ADA ulama yang mengajar santri tanpa mengharapkan imbalan. Ada relawan kebencanaan yang datang ke lokasi bencana tanpa didampingi wartawan. Ada gaji seorang guru yang selalu disumbangkan kepada muridnya. Ada komunitas sosial yang selalu melakukan pemberdayaan tanpa mengambil anggaran negara. Cahaya keteladanan dan harapan yang bersinar tanpa ada pengakuan. Sebuah subkultur dari surau hening Indonesia.
Tapi di sisi lain permasalahan struktural sosial-politik begitu kentara. Transaksi politik didasarkan pada tujuan pragmatis, bukan atas dasar kalkulasi ideologis. Regulasi titipan diselundupkan dengan sebuah pasal yang membuat suasana hukum tidak sakral. Akibatnya pemilik kedaulatan–baca: rakyat—dikesampingkan. Ketimpangan sosial pun dilihat sebagai problem teologis, takdir semata. Proses subsidi dari dana rakyat yang digunakan untuk membiayai belanja konglomerat, menjadi biasa.
Disparitas dari ekonomis berpengaruh terhadap suasana sosiologis. Hukum yang adil pun menjadi barang mahal. Apalagi keragaman sosial-budaya menjadi ciri khas manusia Indonesia. Potensi untuk selalu memupuk persatuan menjadi resisten jika dihadapkan pada ketidakadilan. Elit dari yang diharapkan membawa aspirasi tersandera oleh sistem yang dikuasai oligarki.
Yang terjadi adalah defisit moralitas publik. Etika publik menjadi barang dagang hanya ketika seminar empat pilar. Bukan ditempatkan dengan membumi di pendopo, parlemen ataupun istana, melainkan hanya menguap dengan penuh retorika. Kini publik memerlukan kompas etika sebagai jalan menuju arah pencerahan. Atau Yudi Latif menyebutnya sebagai jangkar etika. Dan itu ada dalam organisasi Nahdlatul Ulama.
Menyeleraskan Keislaman dan Keindonesiaan
Pascaruntuhnya tembok Berlin dunia dihegemoni oleh satu ideologi. Anti-tesis muncul dari berbagai entitas ideologi untuk melawan “The End of History” dan “The Last Man” sebagaimana dikemukakan oleh Fukuyama. Tak terkecuali datang dari entitas agama, khususnya Islam. Paradigma pengetahuan tentang ini dilandasi spirit “Ghazwul Fikri”. Dan hampir selaras dengan proposal Huntington tentang benturan peradaban. Itu keadaan konteks global dengan beragam tafsir Islam Politik & Politik Islam.
Kini keran demokrasi lebih terbuka pasca Orde Baru tidak berkuasa. Gus Dur sebagai pelaku transisi Orba-Reformasi pun muncul dengan role model manusia lintas batas. Mendialogkan berbagai entitas dengan satu ikatan yang penuh dengan pesan universalitas.
Kini aspirasi politik kekuasaan dengan landasan agama pun muncul ke permukaan. Bukan hanya mencoba membuka kembali Piagam Jakarta, melainkan membuat formulasi baru dengan tampilan yang gincu serta nilai-nilai politik garam. Tak dapat dipungkiri wacana yang membenturkan Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman pun muncul sebagai bagian dinamika politik kebangsaan. Padahal NU dan Muhammadiyah pun sudah sepakat dengan spirit kebangsaan yang saling mengisi antara Ke-Indonesiaan dan Ke-Islaman.
Bukan sekadar berbuat secara tindakan, melainkan menyumbang secara pikiran. Konsep Pribumisasi Islam muncul di berbagai tempat disertai praktik. Tentu tak lupa pemikiran tentang Islam Nusantara. Sumbangsih pemikiran dialogis yang tidak menghilangkan sifat kebangsaan, dengan tetap menjalankan nilai-nilai keislaman. Karena dari sini kita tak perlu ragu untuk ber-Islam dan ber-Indonesia.
Tantangan Politik Kebangsaan
Kini salah satu tagline hari lahir civil society –Nahdlatul Ulama– yang ke-95 ini muncul dengan teguh berkomitmen terhadap politik kebangsaan. Komitmen yang tidak akan diragukan, karena sudah 95 tahun melakukan pembuktian. Kumpulan kata-kata yang mahal, tapi membumi. Ia akan berbeda harganya ketika diucapkan oleh politisi. Tentu ucapannya akan murah, tapi agak sulit untuk terbeli.
Kini hari santri diakui sebagai elemen yang berkontribusi dalam membangun negeri. Konteks historisnya tentu dengan semangat resolusi jihad. Dan yang diperlukan hari ini adalah menghidupkan “resolusi jihad” tersebut. Jihad konstitusi diperlukan, tapi ia akan hambar ketika menghadapi oligarki kekuasaan dan politik yang kering kesadaran cita-cita luhur bangsa. Begitu ungkapan Haedar Nashir. Buktinya adalah beberapa peristiwa politik serta hajat kebangsaan terkait Pilkada dan Omnibus Law yang ditentang untuk dilaksanakan dan disahkan pun diabaikan oleh para pemangku kebijakan. Resolusi jihad dengan formulasi baru tentu menjadi harapan.
Dan jihad tersebut sudah pasti bukan dalam konteks perang mengangangkat senjata, melainkan mengangkat derajat masyarakat yang termarjinalkan oleh sistem ataupun regulasi. Disana perjuangan untuk membuat sistem yang penuh dengan moralitas publik. Komitmen ini yang tentu akan mendapat tantangan dalam situasi politik demikian. Dengan melihat sepak terjang, sulit untuk ragu dan selalu berharap. Tidak berlebihan, karena kita berharap pada civil society, bukan pada politisi.