Oleh Ipa Zumrotul Falihah
Aktivis Perempuan, Direktur Taman Jingga
Tahun 2022 dalam beberapa jam kedepan akan berlalu. Begitu pula dengan masa pandemi mudah-mudahan benar-benar berlalu, karena tahun ini pergerakan sosial mulai semakin longgar. Aktifitas masyarakat sudah kembali seperti semula seperti sebelum pandemi. Perayaan hari besar keagamaan mulai dilakukan seperti sediakala sebagaimana situasi normal. Begitupun dengan pembelajaran sekolah sudah dilaksanakan secara bertatap muka. Interaksi perkantoranpun demikian. Semua sudah dilakukan secara offline walaupun standar prosedural pandemi masih tetap diberlakukan, meski dalam skala paling minimal.
Sepanjang tahun 2022 kita mengalami macam ragam pengalaman, ada yang hadir sebagai penyemangat, ada pula yang hadir menjadi pembelajaran. Semua tersimpan di memory menjadi kenangan yang penuh hikmah. Maka akhir tahun adalah momen yang tepat untuk kita merefleksikan diri baik sebagai individu juga sebagai bangsa. Agar menjadi pribadi maupun bangsa yang terus memperbaiki diri, sehingga terjadi perubahan untuk kebaikan ditahun selanjutnya.
Refleksi
Refleksi sebagai individu sejatinya mengetahui diri sendiri, mampu membaca diri terkait apa yang diketahui dan tidak diketahui. Selanjutnya mampu menyelami diri untuk berbenah sehinggga bisa memperbaiki kekurangan. Menata potensi diri untuk memajukan kehidupan pribadi juga berkontribusi untuk kemajuan bangsa.
Refleksi sebagai bangsa sebetulnya banyak sekali yang harus direfleksikan. Karena Taman Jingga fokus pada anak-anak sebagai generasi bangsa, maka refleksi akhir tahun 2022 dibatasi hanya mengenai masih kurangnya peran Ayah dalam keluarga. Sehingga keluarga menjadi pincang tanpa figur ayah dan menjadi ”Rumah tanpa ayah”.
Rumah tanpa ayah bukan berarti ayah tidak ada di rumah, akan tetapi peran ayah yang tidak hadir dalam keluarga. Bagi saya ini masalah serius yang harus dibenahi bersama. Banyak sekali kasus anak di Indonesia dari mulai kasus kenakalan remaja, kasus perundungan, kasus kekerasan terhadap anak. Baik itu kekerasan fisik, kekerasan verbal maupun juga kekerasan seksual dan kasus lainnya. Semua itu terjadi akibat kurangnya pengawasan orang tua, pola asuh yang salah di keluarga. Dan itu imbas dari kurang bersinerginya suami-istri dalam pengasuhan anak yang bisa berasal dari kurangnya peran ayah dalam keluarga.
Selain itu dari tahun ke tahun menurut hasil penelitian sungguh mengkhawatirkan, Indonesia nomor 3 Fatherless Country di Dunia. Lantas, sudahkah para ayah di Indonesia menjalankan perannya secara optimal dalam keluarga masing masing?. Fatherless Country adalah negara dimana di dalam suatu sistem keluarganya peran seorang ayahnya tersebut rendah.
Fatherless
Fatherless dapat diartikan sebagai ketiadaan ayah baik secara fisik maupun emosional dalam kehidupan seorang anak. Fatherless menciptakan jarak antara ayah dengan anak. Jarak tersebut dihasilkan dari rangkaian perilaku ayah, mulai dari sikap apatis yang menciptakan jarak emosional dari anak-anak hingga pengabaian langsun. Maka terjadi jarak secara fisik dan kurangnya ikatan emosional antara ayah dan anak. Selain itu dapat diukur melalui keterikatan atau ketergantungan yang terjalin antara ayah dan anak.
Fatherless seringkali disebabkan peran gender tradisional atau budaya patriarki yang masih diyakini oleh masyarakat. Di mana para ayah hanya fokus pada mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sementara perannya yang lain untuk turut serta dalam pengasuhan anak diabaikan. Karena apabila ayah tidak terlibat dalam pengasuhan pendidikan anaknya akan terjadi kepincangan dalam membentuk karakter anak. Tidak bisa seorang ayah hanya karena sudah mencari nafkah terus tidak mau ikut dalam pengasuhan pendidikan anak.
Peran sang ayah dalam keluarga tentu sangat penting, karena apabila terjadi krisis peran pengasuhan dari ayah “Rumah Tanpa Ayah” akan berdampak pada tumbuh kembang anak baik secara fisik maupun secara psikis. Selain itu, krisis peran ayah mengakibatkan sang ibu kewalahan dalam pengasuhan anak anak. Maka tidak sedikit ibu yang mengalami depresi, bunuh diri bahkan membunuh darah dagingnya sendiri akibat merasa capai sendirian dalam pengasuhan pendidikan anak.
Dalam rumah tangga sosok ayah menjadi figur utama bagi anaknya. Seorang anak yang bertumbuh besar tanpa kehadiran seorang ayah dapat mempengaruhi beberapa kepribadiannya. Peran ayah dan ibu dalam perkembangan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, sangat penting. Keduanya memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Ibu dengan sisi feminin, kecenderungan pada sisi emosi, mengajak anak untuk mengasah sisi emosi, empati dan kasih sayangnya. Sedangkan Ayah dengan titik berat pada logika mengajarkan anak untuk dapat membuat keputusan dengan pertimbangan akal yang baik dan melakukan problem solving yang logis.
Kurangnya keterlibatan peran ayah dalam pengasuhan anak membuat anak-anak Indonesia menjadi father hungry atau lapar pada sosok ayah. Maka, kerusakan psikologis yang diderita anak anak dikarenakan tidak mengenal ayahnya. Kondisi father hungry ini dapat berakibat pada rendahnya harga diri anak, tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang sehingga menyebabkan kekanak-kanakan (childish), juga anak tidak mandiri (dependent).
Paling menyedihkan dari kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak bisa kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hypermasculin). Dampak-dampak tersebut dapat berakibat pada masalah sosial membuat anak cenderung mudah terlibat LGBT. Kondisi psikologis yang tidak matang pada masa tumbuh kembangnya membuat lebih mudah jatuh sebagai pelaku maupun korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di masa yang akan datang.
Periode emas
Kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama dalam periode emas, yakni usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun sangat berpengaruh. Sering kali mengakibatkan anak dalam proses pembelajaran menjadi kesulitan dalam belajar, kurang bisa mengambil keputusan, ragu atau tidak tegas. Kita tentu ingat sebuah ungkapan ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Tapi apabila peran ayah tidak hadir, setelah dewasa dia sulit menentukan pasangan yang tepat untuknya. Hingga bisa salah memilih pria yang layak baginya atau salah pilih jodoh.
Fatherless sebenarnya bukan hanya soal kehadiran fisik seorang ayah di rumah. Atau sekedar hubungan yang tidak sehat antara ibu dan ayah tapi juga secara psikologis sekalipun orang tua berada masih dalam hubungan pernikahan dalam satu rumah. Ayah yang sering di rumah, tetapi galak, melakukan kekerasan terhadap anaknya, tidak pernah PDKT dengan anak, tidak ada bonding dengan anaknya, cuek. Kemudian menganggap mengurus anak adalah tugas ibu sepenuhnya, itu juga termasuk fatherless.
Sebenarnya ada banyak kisah fatherless, namun mungkin tidak disadari. Misalnya keluarga yang tidak memiliki figur ayah karena ibunya merupakan istri muda yang disembunyikan. Keluarga kaya yang kehilangan figur ayah karena alasan sibuk bekerja dan sering bepergian keluar kota. Atau tanpa sadar tidak menjadikan keluarga sebagai prioritas, malah urusan pekerjaan yang menjadi prioritas para ayah.
Lebih lanjut, anak yang mengalami fatherless rata-rata merasa kurang percaya diri, cenderung menarik diri di kehidupan sosial. Lalu rentan terlibat penyalahgunaan obat terlarang, melakukan tindak kriminal dan kekerasan. Kondisi kesehatan mental yang bermasalah, munculnya depresi hingga pencapaian nilai akademis yang rendah. Hal tersebut umumnya terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping hidup.
Menjadi seorang ayah yang baik bukan berarti harus menjadi superman atau superdad. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan pendidikan anak bukan berarti ayah harus selalu ada di rumah menemani anak. Akan tetapi figur ayah hadir dalam diri anak dengan banyak cara dan strategi. Misal dengan meluangkan waktu, memberikan telinga untuk mendengarkan kisah dari anak-anak, memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan. Atau bentuk kasih sayang lainnya, diantar ke sekolah, melakukan aktivitas bersama anak.
Sentuhan ayah
Pada dasarnya, ayah merupakan makhluk sosial yang juga dapat belajar untuk membina relasi yang hangat dengan anak-anaknya. Ayah dibutuhkan untuk membangun komunikasi yang terbuka dan hangat. Namun masih dalam batasan sopan santun, antara anak dengan orangtuanya. Dalam mencegah fatherless harus dilakukan dalam pengasuhan anak aktivitas bermain. Ayah cenderung lebih dapat menjadi teman bermain anaknya jadi sahabat anak sesuai porsinya. Hal ini terjadi sejak lahirnya anak hingga masa remaja. Karena gaya bermain ayah dapat memberikan stimulasi perkembangan dengan cara yang menyenangkan. Dan mengajarkan pula pentingnya kerjasama kelompok dan kompetisi yang sehat pada diri anak.
Begitupun saat anak menginjak remaja, peran ayah sangat besar dalam memastikan keselamatan anak anaknya dari pengaruh lingkungan sosial. Ayah menjadi figur yang sangat kuat dalam menentukan bagaimana seorang remaja bertindak. Mulai masalah teknis seperti batasan jam malam dan penggunaan uang. Ayah yang demokratis akan mampu memberikan batasan yang diperlukan anak remaja dan pada saat yang bersamaan memenuhi kebutuhan kasih sayang anaknya.
Walau bagaimanapun, ayah adalah tokoh sentral dalam keluarga. Ayah adalah nahkoda, ayah adalah yang diikuti, ayah adalah sosok yang didengarkan. Namanya saja kepala keluarga, kepala bagi semua anggota keluarga. Tanpa ayah, rasanya rumah seperti kendaraan tanpa supir, kapal tanpa nahkoda rumah tanpa ayah, membuat stabilitas keluarga menjadi tidak stabil. Rumah tanpa ayah, bagai sayur tanpa garam hambar dan dingin.
Peran negara
Kehadiran ayah yang penting dalam tumbuh kembang anak perlu difasilitasi negara. Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kebijakan dapat berperan untuk memperbaiki keadaan ini. Misal diantaranya, dengan memberi kebijakan cuti bagi ayah untuk menemani istrinya melahirkan. Memang selama ini sudah ada aturan dalam uu ketenagakerjaan (pasal 93 ayat 4 huruf e) dimana seorang ayah boleh tidak masuk kerja selama dua hari saat istrinya melahirkan. Namun, itu masih dirasa sangat kurang. Mengingat peran ayah yang penting pada awal pertumbuhan anak juga bagi kesehatan emosional seorang ibu yang baru melahirkan. Semoga Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) segera disahkan sehingga hal ini menjadi salah satu tindakan preventif merebaknya fatherless di Indonesia.
Selain peran besar negara, tentu saja kesadaran diri dari individu seorang laki-laki sebagai seorang ayah tidak hanya berfungsi sebagai pencari nafkah lahir adalah hal yang lebih penting. Bahwa nafkah batin bagi keluarga baik istri maupun anak adalah hal penting juga untuk dipenuhi. Bukan hanya dengan limpahan materi tetapi juga dengan kehadiran ayah. Tidak hanya fisiknya tetapi juga kehadirannya secara tulus untuk ikut memantau dan mengiringi perkembangan anaknya. Karena walaupun negara sudah berperan jika ayah masih tidak memiliki kesadaran diri, peluang yang sudah diberikan negara menjadi sia-sia.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak tentu memberikan pengaruh yang sangat positif. Anak yang mengalami hubungan yang intensif dengan ayahnya semenjak lahir akan tumbuh menjadi anak yang memiliki emosi yang aman (emotionally secure). Dia akan memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi dunia sekitar, dan ketika tumbuh dewasa mereka akan dapat mampu membangun relasi sosial yang baik dan relatif tidak bermasalah.
Selain itu, kehadiran ayah dalam keluarga juga akan berperan positif terhadap sang ibu. Dengan hadirnya figur ayah yang peduli di tengah-tengah keluarga akan mengurangi depresi (tekanan jiwa) pada sang ibu saat melakukan pengasuhan terhadap anak (maternal depression). Menurunnya depresi ibu tentu akan berdampak positif bagi pengasuhan terhadap anak.
Semoga refleksi di akhir tahun 2022 ini menyadarkan kita semua terutama kaum ayah. Untuk membenahi diri dan keluarganya sehingga tercipta ketahanan keluarga yang baik dan memberikan kontribusi positif bagi ketahanan Nasional Bangsa Indonesia.
“SELAMAT TAHUN BARU 2023”, semoga lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya baik diri pribadi, keluarga dan juga Bangsa Indonesia.***