Oleh Rony Mardyana
Wakil Ketua Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Tasikmalaya
“Seorang politisi berpikir tentang Pemilu yang akan datang, seorang negarawan berpikir tentang generasi yang akan datang.”
James Freeman.
Bila politik dimaknai sebagai cara untuk mewujudkan kesejahteraan, maka kekuasaan politik bekerja untuk mendistribusikan keadilan. Namun bila politik dimaknai hanya sebagai sarana untuk mendapatkan kekuasaan, maka ada potensi segala cara apapun akan ditempuh untuk mengakumulasi kekuasaan. Berbahaya bila proposal Machiavelli setiap kontestasi politik digunakan, namun efektivitasnya dalam realitas politik tak dapat dihindarkan.
Demokrasi memberikan ruang untuk mengambil dan melepaskan kekuasaan. Sirkulasi elite politik dimungkinkan untuk terjadi dengan pelaksanaan pemilu sebagai langkah untuk mengawali. Yang diwariskan dan yang akan dibangun bukan hanya sarana fisik dan anggaran, melainkan juga etika publik dan kebajikan (legacy).
Politik lokal dan Pilkada sebagai sarana demokrasi di akar rumput memberikan gambaran yang jelas mengenai politik di depan layar seperti: kontestasi, perilaku politik, strategi & kampanye politik; dan juga politik di belakang layar: nilai, ideologi, kepentingan & kesepakatan. Dua hal inilah yang dapat kita lihat dalam penyelenggaraan politik sebagai ruang publik, termasuk dalam hal ini penyelenggaraan di Kabupaten Tasikmalaya, khususnya pemerintahan Ade-Cecep.
Refleksi Demokrasi: Pilkada & Politik Lokal
Tidak ada makan siang yang gratis, begitu kata pemenang Nobel Milton Friedman. Kondisi tentang “makanan” realitas demokrasi bisa dilihat dalam pelaksanaan ketika Pilkada Kabupaten Tasikmalaya yang lalu di mana ASN terlibat dalam pelanggaran netralitas. Yang dilihat bukan sebagai kuantitas, melainkan sebagai kualitas dan moralitas dalam kontestasi mencari suara.
Tentu denda finansial untuk fakta pelanggaran hukum tersebut hanyalah nominal, namun perilaku tersebut adalah bukti cerminan moral (baca: moralitas & etika publik). Tugas kita hanya mengawasi itu–yang diketahui–sebagai peristiwa publik. Di luar itu–yang tidak diketahui oleh publik—adalah persoalan lain.
Implikasi dari “makanan dan kue” politik dapat dianalisis terhadap kuasa anggaran dan kebijakan. Bahwa penyerapan APBD pada tahun pertama menjabat menjadi tolok ukur penyerapan dan keberpihakan.
Kaca mata publik sudah bisa menilai sejauh mana proporsional dari anggaran dan kebijakan itu bekerja, menjadi hibah, mutasi, ataupun instruksi semata. Sejauh mana ia berubah menjadi politik balas budi, atau memang kemaslahatan publik dijunjung tinggi.
Sebuah dilematis ketika kondisi seperti ini politik disempitkan hanya menjadi administrasi barang dan jasa. Tidak ada kegelisahan nilai ataupun tentang “pikiran publik” dalam kondisi politik semacam ini.
Kedua Bupati & Wakil Bupati saat ini adalah kader partai. Idealnya pikiran publik dikelola dan dituangkan dalam kebijakan sesuai ideologi dan nilai-nilai partai. Namun kesejahteraan publik ditempatkan di atas kesejahteraan kelompok/golongan.
Itu artinya aspirasi publik diutamakan dari aspirasi partai itu sendiri. Kajian mengenai partai politik menjadi tak aspiratif, tak relevan dalam menopang demokrasi, menjadi kartel ataupun tersandera oligarki sudah banyak dibahas.
Ketakutan itu bisa kita rasakan dalam konteks politik lokal saat ini. Apalagi ditambah dengan elite politik yang menyematkan “petugas partai” kepada pejabat publik, mengisyaratkan kendali dari partai lebih besar dari kendali dan pengabdian terhadap rakyat.
Kontestasi Dinamika Politik
Seorang tokoh politik mengatakan bahwa politisi semuanya sama saja, mereka berjanji membangun jembatan, meski tidak ada sungai. Tak heran dalam ungkapan tersebut, bahwa hasrat para politisi untuk memainkan segala kemungkinan terus terjadi.
Kendati kedua politisi ini memenangkan dan menjadi Bupati-Wakil Bupati, tetapi hasrat saling berebut “membangun jembatan” terus dilakukan. Situasi yang penuh dengan iklim politis yang saat ini dirasakan. Bahwa perpecahan yang dilakukan dalam orkestrasi panggung kekuasaan dimainkan. Ujungnya adalah rakyat yang menjadi korban. Begitu siklus buruk yang terulang hasil dari “pesta politik”.
Sebentar lagi kita akan memasuki tahun politik. Tahapan Pemilu sebagai bagian dari proses demokrasi menjadi ajang pertarungan para politisi. Pesta politik ini yang kemudian menjadi transaksi kepentingan, ataupun pertarungan perang anggaran (baca: politik uang).
Naluri politik elektoral yaitu mengambil kekuasaan, adalah konsekuensi logis bagi partai politik untuk menyiapkan segala bentuk kemenangan dalam kontestasi elektoral.
Adalah naif jika Bupati-Wakil Bupati yang merangkap sebagai politisi dan petugas partai tidak menjadi pelumas elektoral. Dinamika dari politik kepemiluan ini yang akan dimainkan oleh kontestan para politisi. Karena baliho sayap kebhinekaan tidak mungkin berdiri dalam ruang kehampaan. Di tengah mengurusi Kabupaten Tasik dan didesak menjadi mesin politik, di manakah letak aspirasi dan pikiran publik?
Jika politik dimaknai sebagai wilayah teknis, maka sosok Ade-Cecep sudah menjadi pemenang dalam politik saat ini dengan menjadi Bupati-Wakil Bupati.
Namun, jika politik dimaknai sebagai wilayah etis dan menciptakan kesejahteraan sebagaimana logika Aristotelian, maka ketahanan ataupun resistensi dari pemerintahan Ade-Cecep ini butuh perjuangan untuk terwujud.
Dari proses Pilkada, dinamika perpecahan ketika sama-sama menjabat, ataupun dalam pusaran politik elektoral selanjutnya adalah tantangan bagi kedua tokoh ini untuk mewujudkan politis sebagai wilayah etis dan kebajikan.
Support KAPOL with subscribe, like, share, and comment
Youtube : https://www.youtube.com/c/kapoltv
Portal Web : https://kapol.tv/
Portal Berita : https://kapol.id/
Facebook : https://www.facebook.com/kabar.pol
Twiter : https://twitter.com/kapoltv