PENDIDIKAN

Sastra dalam Gerakan Literasi

×

Sastra dalam Gerakan Literasi

Sebarkan artikel ini

KAPOL.ID -Bangsa Fenisia seperti kata banyak orang, tidak menghasilkan karya sastra, walau mereka diakui telah menemukan abjad. Para ahli telah membahas filistinisme (tindakan yang membenci seni) mereka berdasarkan ketiadaan warisan dalam wujud karya tulis, dengan menekankan bahwa mereka (Bangsa Fenisia) lebih memilih berdagang dari pada dunia seni dan sastra.

Abjad Bangsa Fenisia dipakai untuk transaksi jual beli. Alhasil, Bangsa Fenisia tidak banyak melahirkan karya sastra, bangsa mereka hancur. Abjad mereka tidak dipakai.

Acep Iwan Saidi, kritikus sastra sekaligus akademisi memaparkan makalahnya dalam Kemah Literasi FTBM Jawa Barat “Literasi untuk Semua” di Kiarapayung, Sumedang (16/11/19). Dalam paparannya terkait sastra dalam gerakan literasi, Acep Iwan Saidi mencoba masuk pada proses penciptaan karya sastra.

Literasi erat kaitannya dengan sastra, hal utama yang harus dilakukan oleh para aktivis literasi adalah membaca. Sebelum merambah pada hal yang lain, membaca harus menjadi kebiasaan. Ini kunci utama berliterasi.

Proses penciptaan karya sastra “Realitas – Karya – Realitas“. Karya sastra lahir dari realitas yang sedang terjadi. Kemudian masuk melalui pengalaman seseorang lewat imaji visual, audio, taktil, dll. hingga melahirkan karya. Karya sastra yang lahir kemudian dilempar kembali pada realitas (masyarakat).

Karya sastra dalam bentuk teks, tentunya sangat bermanfaat terkait ilmu pengetahuan (narasi sebagai inti pengetahuan tradisional: Lyotard). Teks lebih awal selain karya-karya berupa digital. Oleh karena itu, teks menjadi sangat penting.
Membaca menjadi hal yang penting

Hawe Setiawan penulis juga akademisi, tidak kalah menarik dalam memaparkan makalahnya. Hawe mencoba berbagi pengalaman berliterasi dalam kelas selama pelajaran berlangsung. Ia menceritakan proses berdialektika bersama mahasiswanya terkait literasi.

Hawe menyuruh mahasiswanya untuk membaca karya-karya sastra klasik, dengan alasan karya klasik sudah teruji oleh waktu (tidak lekang oleh zaman). Setelah dibaca, lalu dipresentasikan oleh mahasiswanya di dalam kelas. Proses ini menjadi sangat penting, mahasiswa membaca serta mengali apa yang terkandung dalam karya. Dari sana akan ketahuan siapa yang membaca dengan serius.

Dari kedua pemaparan Acep Iwan Saidi serta Hawe Setiawan, kaitannya dengan literasi adalah bagaimana aktivis literasi ini dekat dengan buku. Bukan hanya sekedar mencari donasi buku, lebih dari itu, aktivis ini idelanya banyak membaca buku serta melahirkan karya sastra yang luar biasa.

Karena 80 % buku yang ada di TBM (Taman Bacaan Msyarakat) berupa teks sastra.
Kembali pada Bangsa Fenisia yang hancur karena tidak memproduksi karya sastra, Bangsa Indonesia juga bangsa yang besar. Apakah kita akan hancur seperti Bangsa Fenisia? Apabila tidak, mari kita sinergikan gerakan sastra dengan gerakan literasi di Jawa Barat. Umumnya di Indonesia. (HMK)