Oleh Maulana Janah
Lembaga Kajian Silang Budaya Indonesia
Menjelang dua dakade berlakunya visi Kabupaten Tasikmalaya, hal ini perlu ditelaah secara kritis dan mendalam. Telaah tersebut, terkait dengan pelaksanaan visi Religius Islami dalam praktik pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya. Alasannya, visi Religius Islami merupakan kesepakatan bersama masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang diwakili oleh para tokoh dan pemimpin daerah.
Kunci dari telaah kritis ini adalah memberikan saran atau kritik bagi kemajuan pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya. Mengkritisi berarti memberi credence (kepercayaan) terhadap pernyataan (argumen), dukungan bukti dan data, kekuatan dan kelemahan, apresiatif kelebihan dan kekuatan atas visi Kabupaten Tasikmalaya.
Praktiknya, perumusan suatu visi dalam lingkup daerah memerlukan suatu proses panjang dan perencanaan yang matang. Hal ini dilakukan agar visi pembangunan dapat berjalan secara simultan dan kontinu. Tujuan akhirnya, dapat diciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.
Rumusan visi Religius Islami apabila dibaca secara mendalam memunculkan bahasa yang tumpang tindih. Kata religius bermakna umum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata religius adalah bersifat keagamaan; yang bersangkut-paut dengan religi. Sementara itu, arti kata islami adalah bersifat keislaman, contohnya seperti akhlak.
Rumusan visi tersebut yang menjadi penggerak bagi proses pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya. Visi ini sangat penting diletakkan dalam suatu diskursus yang mendalam. Telaah kritis digunakan untuk membedah sampai sejauh mana rumusan visi itu dapat menjadi landasan progresif (kemajuan) bagi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.
Artinya, visi tersebut tidak hanya sekadar berisi ‘slogan’ tanpa bukti dan hanya untuk memenuhi kepentingan politik atau golongan tertentu.
Selama ini, ada persoalan perdebatan tentang kata ‘religius’ dan ‘islami’. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Kabupaten Tasikmalaya berpenduduk mayoritas Islam dengan suasana kota santri.
Kajian ini tidak salah, tetapi perlu dievaluasi secara kritis. Sebab, pada tahap pelaksanaannya, apakah visi tersebut sudah menjadi ruh dalam setiap kebijakan dan perilaku para pemimpin di daerah ini? Atau, visi tersebut hanya sebatas ‘slogan’ semata untuk menutupi ‘borok’ dari perilaku korup dan menyimpang yang dilakukan oleh masyarakat dan pejabat selama ini.
Kenyataannya, praktik penerapan kata religius dan islami dalam pembangunan masih cenderung bertolak belakang dengan kenyataan. Misalnya, yang paling sederhana dapat dilihat dalam bidang penataan lingkungan. Singaparna sebagai pusat ibu kota sampai saat ini masih kumuh. Contoh lain yang kurang ‘islami’ dalam hal kebersihan, khususnya persoalan sampah yang tidak dikelola dengan baik.
Padahal, dalam ajaran Islam kebersihan merupakan bagian dari iman. Persoalan sampah sebenarnya bisa diselesaikan dengan membuat regulasi persampahan yang diikuti oleh kebijakan yang konsisten.
Penulis sendiri memahami kata ‘islami’ itu sangat sederhana, misalnya islami itu bisa dimaknai bersih atau islami itu tertata rapih. Islami itu disiplin dan tentu islami itu adalah pro rakyat. Menafsirkan kata ‘islami’ tidak terlalu sulit, tetapi untuk mewujudkannya dalam aktivitas pembangunan perlu didorong oleh kemauan (will) dan kemampuan (capacity) pemimpin daerah.
Dalam praktik pembangunan, kata ‘islami’ harus menjadi ‘petunjuk’ bagi para pemangku kebijakan agar tidak korupsi. Memotong dana bantuan sosial, dana bantuan mesjid, dan sumbangan yayasan merupakan perilaku yang merusak dan menciderai kesucian makna islami itu sendiri.
Dengan demikian, memahami kata ‘islami’ tidak hanya sebatas persoalan pemakaian busana, seperti baju koko, jilbab dan sejenisnya, tetapi yang paling penting adalah tindakan dan kebijakan yang tidak menyimpang.
Proses pembangunan tidak bisa dipungkiri memerlukan visi kedaerahan yang terukur dan benar-benar menjadi arah (guiden) bagi pelaku pembangunan itu sendiri. Dengan visi seperti itu, wujud pembangunan dapat melahirkan proses perubahan yang lebih baik di segala bidang kehidupan manusia.
Karena itulah, perumusan cetak biru visi Kabupaten Tasikmalaya menjadi penting dan strategis. Alasannya, dalam setiap perencanaan perlu ada kejelasan arah pembangunan. Hal tersebut sangat bergantung kepada subjek (pelaku) pembangunan itu sendiri. Apabila pelaku pembangunan dapat melihat potensi keunggulan daerah secara detail dan menyeluruh, daerah tersebut akan banyak mengalami kemajuan.
Visi dan pembangunan, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Visi merupakan gambaran ideal yang ingin dicapai dari suatu pandangan jauh ke depan. Visi ibarat ruh yang mampu menggerakan jiwa dan raga manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks itulah, visi adalah ruh bagi pembangunan daerah yang berisi kebutuhan hakiki masyarakat.
Selama ini, praktik pembangunan sering mengabaikan kepentingan-kepentingan masyarakat, bahkan masyarakatlah yang menjadi korban dari pembangunan. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat diakibatkan oleh visi dan tujuan pembangunan yang bias serta tidak terukur.
Oleh karena itu, agar pembangunan dapat bersinergi dengan kebutuhan masyarakat, kegiatan pembangunan membutuhkan prasyarat tertentu.
Adapun prasyarat tersebut adalah 1) prasyarat faktor ekonomis yang bersifat primer meliputi faktor sumber daya alam yang melimpah, tenaga ahli, dan modal yang cukup dan 2) prasyarat faktor sosial budaya meliputi faktor demografik, struktur masyarakat, mental, dan pendidikan.
Prasyarat di atas dapat dihubungkan dengan kondisi yang ada di Kabupaten Tasikmalaya yang meliputi kependudukan (demografi), kondisi fisik alam, kondisi ekonomi, dan kondisi pendidikan masyarakat. Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, rumusan visi Kabupaten Tasikmalaya bisa dipetakan secara mendalam. Dengan demikian, dapat dihasilkan rumusan visi yang berakar pada identitas dan potensi daerah.
Faktor ekonomis yang bersifat primer menjadi relevan dan penting keberadaannya dalam melihat basis keunggulan suatu daerah yang secara jujur diakui sebagai kenyataan ril dalam masyarakat. Karena itulah, sebuah visi daerah tidak boleh mengabaikan kenyataan ini.
Praktik pemetaannya bisa diawali dari daerah Tasikmalaya selatan dan sekitarnya. khususnya Kecamatan Cipatujah dan Kecamatan Cikalong. Kedua daerah ini secara ekonomi memiliki keunggulan karena berbasis pada pertanian dan pantai/maritim.
Sementara daerah-daerah yang ada disekelilingnya seperti Cibalong, Cikatomas, Karangnuggal, Salopa, dan daerah lainnya masih bergerak disektor pertanian.
Selanjutnya, daerah Tasikmalaya utara, tengah, dan barat lebih banyak bergerak di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Ini artinya bahwa visi Kabupaten Tasikmalaya harus menggambarkan keunggulan daerah itu sehingga dapat terukur dalam praktik pembangunan yang akan digulirkan.
Menilik visi pembangunan Kabupaten Tasikmalaya selama ini, menurut pandangan penulis perlu diselaraskan dengan konteks kedaerahan dan kekinian. Kedaerahan dapat diartikan sebagai penggarapan secara tekun dan cermat terhadap potensi unggul yang dimiliki oleh daerah ini yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan.
Berikutnya, kata kekinian dapat diartikan sebagai respons atas kemajuan dan perkembangan zaman. Supaya berjalan dengan serasi, visi Kabuapetan Tasikmalaya perlu dilihat dalam pendekatan teologis (ilmu ketuhanan). Kata yang bisa digunakan dan selaras dengan keyakinan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, yaitu kata ‘keimanan’ dan ‘ketaqwaan’ kepada Tuhan yang Maha Esa’.
Kalimat ini sangat cocok dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kalimat ini juga bisa menjadi energi dan spirit bagi masyarakat Kabupaten Tasikmalaya.
Selanjutnya, kata yang berkaitan dengan potensi ‘budaya’ dan ‘alam’. Kalimatnya bisa disusun ‘menjadi kabupaten termaju’ di bidang parawisata, budaya, dan pertanian. Penyertaan kata budaya dan pertanian merupakan potensi unggul yang dimiliki oleh Kabupaten Tasikmalaya.
Oleh karena itu, telaah kritis atas visi Kabupaten Tasikmalaya ini dapat disimpulkan bahwa perlu dilakukan evaluasi mendalam terhadap proses pengejawantahan visi tersebut. Sebabnya, selama ini pengejawantahannya belum efektif karena kurang terukur.
Bahkan visi tersebut belum sepenuhnya menjadi dinamisator pembangunan. Sebagai bahan koreksi untuk kebaikan di masa yang akan datang, visi tersebut juga harus menggambarkan esensi dari suatu keunggulan daerah yang akan menjadi basis identitas lokal.***