Muhamad Hilman Firmansyah, Dosen FKOMINFO Universitas Garut
Bangsa Indonesia secara resmi memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Suatu proses kemerdekaan yang direbut tak hanya atas perjuangan fisik untuk melawan dan mengusir penjajah dari dalam, tetapi ada satu syarat lainnya, yaitu mendapatkan pengakuan dari negara lain.
Berdasarkan Hukum Internasional dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo, Convention on Rights and Duties of States tahun 1933 tertulis bahwa terdapat empat syarat untuk berdirinya negara baru, yaitu mempunyai populasi manusia yang tetap, memiliki daerah teritorial yang stabil, membentuk struktur pemerintahan berdaulat, dan memperoleh pengakuan dari negara lain. Begitu pula dengan Indonesia, pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. NKRI terus mengupayakan supaya terwujudnya syarat keempat, yaitu diakui negara lain.
Menilik syarat keempat ini, berarti bangsa Indonesia harus mulai bekerja keras untuk meminta dukungan negara lain supaya diakui sebagai negara dan bangsa yang merdeka. Tentu saja diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni untuk melaksanakan tugas mulia yang tentu tidak mudah untuk dilakukan.
Beruntungnya, bangsa ini dari sejak dulu telah melahirkan manusia-manusia cerdas yang tidak hanya kuat secara ilmu pengetahuan dan nasionalisme, tetapi mereka pun piawai dalam berdiplomasi karena menguasai bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa Prancis, Bahasa Rusia, Bahasa Arab, dll. Hal ini tentu menjadi kekuatan bangsa ini untuk mendapatkan legitimasi kemerdekaan dari negara lain.
Bisa dibayangkan apabila para pendiri bangsa ini tidak memiliki kecakapan berkomunikasi menggunakan bahasa asing, maka bisa dipastikan kita akan sulit mendapatkan pengakuan dari negara lain karena keterbatasan menyampaikan gagasan kebangsaan dengan bahasa yang dipakai oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu penguasaan bahasa asing memegang peranan penting dalam mengokohkan eksistensi negara Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.
Fakta sejarah menyebutkan bahwa negara yang pertama kali mengakui kedaulatan Indonesia adalah Mesir. Secara de facto, Mesir mengakui Indonesia sebagai merdeka pada tanggal 22 Maret 1946. Selanjutnya pada 10 Juni 1947, Perdana Menteri Mesir menandatangani pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de jure yang disaksikan oleh AR Baswedan dan Haji Agus Salim. Penandatanganan ini menjadi tanda hubungan dimulainya bilateral antar dua negara. Persamaan mayoritas pemeluk agama Islam dan rasa persaudaraan menjadi alasan Mesir mengakui kedaulatan Indonesia.
Berhasilnya Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara dari Mesir menandakan bahwa lengkap sudah Indonesia memenuhi empat syarat berdirinya sebuah negara merdeka. Prestasi ini tentu tidak lepas dari kepiawaian Haji Agus Salim dan delegasi lainnya yang berhasil melakukan diplomasi tingkat dunia sehingga Mesir pada akhirnya mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh.
Haji Agus Salim adalah salah satu dari sekian tokoh bangsa yang memiliki jasa besar untuk mempertahankan eksistensi Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Beliau memiliki kecerdasan intelektual dan cinta tanah air yang tinggi. Haji Agus Salim pun dianugerahi kefasihan berkomunikasi dalam berbagai bahasa, baik Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Bahasa Perancis, Bahasa Rusia, Bahasa Jepang, Bahasa Turki, Bahasa Arab dll.
Kepiawaian berkomunikasi dalam ragam bahasa ini telah membukakan jalan bagi beliau untuk menjadi diplomat untuk menjalankan misi mulia memperkenalkan dan membuka kerja sama Indonesia dengan negara lain. Atas prestasinya ini, ia pun dikenal dengan julukan The Grand Old Man sebagai bentuk apresiasi atas kiprah beliau di bidang diplomasi.
Kita sebagai generasi masa kini sudah sepatutnya mengambil pelajaran berharga dari Haji Agus Salim sebagai tokoh bangsa yang telah menggunakan keterampilan berkomunikasi dalam banyak bahasa supaya negeri ini diakui oleh negara lain. Di sini kita dapat belajar bahwa dengan kemampuan berbicara dalam berbagai bahasa akan memberikan banyak manfaat baik bagi diri sendiri maupun kepentingan umum.
Oleh karena itu, kita sebagai generasi masa kini yang hidup di era kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sudah sepantasnya bisa menguasai bahasa internasional, paling tidak Bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang memiliki penutur terbanyak pertama. Karena kedudukan inilah, berbagai sumber primer referensi ilmu pengetahuan dan perangkat teknologi pun menggunakan Bahasa Inggris.
Dengan menguasai Bahasa Inggris, kita pun bisa melakukan studi tidak hanya di negeri sendiri, kita pun berpeluang untuk bisa menjadi sarjana atau cendekiawan lulusan universitas ternama di berbagai belahan dunia. Dengan bahasa Inggris pula, seorang dosen atau ilmuan pun bisa mempublikasikan hasil penelitiannya dalam forum ilmiah internasional sehingga hasil penelitiannya pun bisa dikenal lebih luas dan memungkinkan mendapatkan rekognisi internasional. Begitu pula bagi anak muda yang ingin berkarir di negara lain, salah satu syaratnya adalah kemampuan berkomunikasi dengan bahasa setempat atau minimal Bahasa Inggris.
Menguasai bahasa asing bukan berarti kita melupakan Bahasa Indonesia dan bahasa lokal lainnya sebagai alat komunikasi kita sehari-hari. Penguasaan bahasa asing adalah salah satu wujud eksistensi kita sebagai individu yang mana setidaknya kita memiliki 3 status.
Pertama, kita itu bagian dari status kedaerahan tempat kita lahir sehingga kita berkomunikasi dengan bahasa daerah, misalnya Bahasa Sunda, Bahasa Sunda, Bahasa Minang, dll.
Kedua, kita pun bagian dari status kebangsaan dan keneragaan , yaitu warga negara Indonesia, maka sepantasnyalah kita pun berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi dan kondisi peruntukannya.
Terakhir, kita pun bagian dari masyarakat dunia yang mana kita pun pada saatnya nanti akan berkesempatan untuk melakukan ragam aktivitas dalam ruang lingkup dunia internasional. Oleh karena itu, kita pun tidak boleh lupa untuk bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya supaya memudahkan hidup kita manakala kita melakukan berbagai kegiatan di luar negara kita atau kita sedang melakukan kerja sama tertentu dengan pihak lain yang berasal dari negara lain.
Terkait hal ini, Badan Bahasa Kemendikbud Republik Indonesia pada tahun 2009 telah merumuskan “Trigatra” yang berisi Utamakan bahasa Indonesia; lestarikan bahasa daerah; kuasai bahasa asing. Tiga rumusan ini bisa menjadi tuntunan kita semua dalam praktik berbahasa di masyarakat.
Sudah 78 tahun bangsa Indonesia hidup di alam kemerdekaan, sudah sepantasnya kita sebagai bangsa bisa memetik teladan dari para pendiri bangsa. Sebagian dari para pendiri bangsa ini tidak hanya mampu berkomunikasi dengan bahasa nasional, tetapi mereka pun bisa berdiskusi, bernegosiasi, berdiplomasi dan bahkan bekerja sama dengan menggunakan Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Haji Agus Salim, Presiden Soekarno, dll adalah contoh pendiri bangsa yang pandai berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing. Hal ini menandakan bahwa dengan menguasai bahasa asing, beliau tidak kehilangan identitas kebangsaannya, melainkan memperkuat eksistensi Indonesia di mata dunia karena kepiawaian berbahasanya.
Muhamad Hilman Firmansyah, Dosen FKOMINFO Universitas Garut